Hal tersebut disampaikan Ninawati Syahrul, Peneliti Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (PR MLTL) Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) dalam Webinar MLTL Seri ke-15 dengan tema Perawatan Kecantikan Perempuan Indonesia dalam Pendekatan Tradisi dan Sains, di Jakarta, Kamis (22/02).
Ia menyampaikan paparannya berjudul Saripohatji: Kebertahanan Kosmetik Tradisional Perempuan Sunda di Ciamis, Jawa Barat. Menurutnya, Saripohatji merupakan ikon sejarah kosmetik dari Ciamis, yang bermula dari kebiasaan seorang perempuan cantik asli Ciamis bernama Siti Marijah.
Ninawati mengungkapkan alasan mengapa kosmetik tersebut banyak diminati, bahkan sejak 1927. ”Dia merawat wajah dan tubuhnya dengan kosmetik bahan-bahan alami, yang membuatnya kian hari kian glowing. Kosmetik tersebut menarik minat para tetangganya, hingga perempuan Belanda,” tuturnya.
Semenjak peristiwa tersebut, jelasnya, Siti Marijah terinspirasi untuk mendirikan usaha industri rumahan. Asal usul nama Saripohatji berasal dari nama Dewi Beras Saripohatji yang ditemukan dalam legenda Sunda. Salah satunya yaitu Nyai Pohaci Sanghiyang Asri seorang bidadari atau dewi cantik perlambang kesuburan.
Pada 1960 sampai 1980 usahanya berkembang pesat, sebagai masa kejayaannya. Saripohatji menjadi primadona, khususnya di daerah Ciamis. Dari keuntungan usahanya tersebut, ia mendirikan Masjid Jami Sifaul Qulub yang berdiri hingga sekarang, dan digunakan oleh masyarakat. Ia pun diganjar penghargaan oleh Bupati Ciamis karena sudah mengharumkan nama Ciamis, bahkan produk tersebut sudah sampai ke luar negeri.
Menurutnya, pada 2007, produk Saripohatji berhenti sementara karena harus bersaing dengan produk lain. Pada 2011 kembali aktif berproduksi untuk memenuhi permintaan pasar sampai saat ini, dan Nina pun menjelaskan rahasianya.
“Pertama, konsisten dengan komposisi bahan alami, seperti temulawak, temu kuning, tomat, jeruk nipis, dan berbagai ekstrak atau saripati daun, seperti daun pandan, daun jambu, maupun daun asem. Semua bahan alami tersebut diparut, dan diambil ekstraknya. Kemudian, ekstrak tersebut dicampur dengan tepung atau kapur batu alam, serta batu bintang yang didatangkan dari Bangka Belitung,” urainya.
Kedua, terang dia, konsisten pada proses produksi secara tradisional yaitu beras sebagai bahan utama, sedangkan bahan herbal sebagai bahan pendukung yang direndam selama dua hari.
“Kemudian bahan-bahan tersebut ditumbuk, diendapkan, diambil ekstraknya, dicampur dengan tepung beras dan tepung batu alam. Hasilnya dibentuk menjadi kapsul bedak, atau pintilan oleh tangan trampil para pekerja. Agar produk awet, bedak dikeringkan dengan dijemur di bawah sinar matahari,” rincinya.
Ketiga, konsisten dengan orisinalitas kemasan dan nama (brand). Nama Saripohatji yang masih menggunakan ejaan Van Ophuijsen sengaja dipertahankan, agar konsumen tetap mengenali produk dan tidak menghilangkan kharismanya.
Peneliti berikutnya Atisah dari PR MLTL BRIN menyampaikan manfaat Saripohatji yaitu mencegah penuaan dini, menyegarkan, dan mencerahkan wajah. Menyamarkan flek dan bekas jerawat, mengurangi minyak yang berlebih mengecilkan pori-pori wajah, mencegah timbulnya jerawat, dan membantu menghilangkan beruntusan.
Ia juga menjelaskan mengenai sistem pewarisan Saripohatji yang bertahan sampai generasi ketiga, mulai 1959 hingga 1971 usaha ini dilanjutkan oleh suaminya, Pak Harjo.
“Setelah Pak Harjo wafat, perusahaan dikelola oleh Ocoh Setiawati sebagai istri kedua, dan Neneng Fatimah istri ketiga sampai 1985. Sepeninggal Neneng Fatimah, usaha dilanjutkan oleh Ocoh Setiawati dan anak-anaknya sampai sekarang,” bebernya.
Popularitas Saripohatji saat ini juga terdongkrak lewat banyaknya konten youtube, dan para vlogger kecantikan yang mengulas efektivitas bedak Saripohatji hingga kini. Saripohatji mudah dicari, tidak hanya dijual di warung tradisional, juga banyak tersedia dalam penjualan online.