Perkembangan ini terjadi setelah protes berminggu-minggu oleh enam remaja di sekolah menengah atas milik pemerintah.
Para pemrotes dilarang mengikuti aktivitas sekolah oleh pihak manajemen yang menekankan bahwa para siswi itu harus melepas hijab di dalam ruang kelas.
Masalah ini menimbulkan kemarahan dan ketakutan di antara kelompok minoritas Muslim India yang mengatakan konstitusi negara itu menjamin kebebasan mengenakan apapun yang mereka inginkan.
Isu ini juga menyebar ke sekolah menengah atas lain di negara bagian itu. Pada Kamis (03/02), video yang menunjukkan gerbang sekolah ditutup bagi perempuan yang memakai jilbab, menimbulkan kemarahan masyarakat.
Peristiwa di video itu terjadi di sekolah menengah atas di Distrik Udupi. Protes sebelumnya juga terjadi di Udupi, salah satu kawasan di Karnataka dengan komunitas yang cukup sensitif.
Para pengamat sering menggambarkan kawasan pesisir sebagai laboratorium bagi politik mayoritas Hindu. Kawasan ini adalah basis Partai Nasionalis Hindu, Bharatiya Janata (BJP) yang dipimpin Perdana Menteri Narendra Modi. BJP juga berkuasa di Karnataka.
Perdebatan soal hijab ini telah menimbulkan polemik di India.
Pada awalnya, sebanyak enam pelajar putri Muslim di Karnataka mengaku dilarang masuk kelas selama berpekan-pekan karena berkeras mengenakan hijab.
Pihak sekolah berdalih bahwa para siswi tersebut diperkenankan untuk memakai hijab di lingkungan sekolah, kecuali di dalam kelas.
Seperti para pelajar lainnya, mereka memakai seragam. Tapi para siswi itu menegaskan bahwa seharusnya sekolah mengizinkan mereka untuk menutupi rambut.
"Kami diajar beberapa guru laki-laki. Kami harus menutupi rambut kami di depan laki-laki. Itulah mengapa kami memakai hijab," kata salah seorang pelajar putri bernama Almas AH, kepada BBC Hindi.
Keberadaan perempuan Muslim yang memakai hijab dan burka di India adalah pemandangan yang jamak. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, penganut agama minoritas seperti Islam dan Kristen merasa semakin tidak nyaman oleh kehidupan beragama yang kian terpolarisasi.
Enam siswi Muslim di India mengaku tidak diperbolehkan masuk kelas. (Umesh Marpally)
Beragam contoh ujaran kebencian dan aksi main hakim sendiri terhadap umat Muslim di kawasan itu memperdalam kubu-kubu agama sekaligus memicu pembentukan kelompok-kelompok kaum minoritas yang vokal memperjuangkan hak kebebasan beragama.
Dalam kasus ini, sebagai contoh, pihak sekolah mengatakan masalah kian ruwet dengan keterlibatan Front Kampus India (CFI), sayap pelajar dari organisasi Islam, Front Popular India.
Satu dari enam siswi berhijab, Almas AH, mengaku dirinya bukan anggota CFI. Namun, dia menghubungi organisasi tersebut ketika pihak sekolah melarang mereka masuk kelas.
Sekolah di Negara Bagian Karnataka itu kini menjadi sorotan. (Umesh Marpally)
"Saya telah meminta laporan mengenai masalah ini," kata Menteri Pendidikan Negara Bagian Karnataka, BC Nagesh.
"Pada dasarnya ini politik. Semuanya ini terjadi karena pemilihan umum bakal berlangsung tahun depan," tambahnya, merujuk upaya sayap politik Front Popular India untuk menggaet simpatisan di kawasan itu.
Kronologi kasus
Satu dari enam siswi berhijab, Almas AH, mengaku dirinya dan teman-temannya telah berupaya memakai hijab sejak tahun pertama sekolah. Tapi pihak sekolah meminta orang tua mereka untuk menandatangani surat kesepakatan yang mencegah mereka berhijab.
Selama masa pandemi, para pelajar tidak melakukan kegiatan belajar tatap muka di sekolah. Pada periode itu, menurut Almas, mereka menyadari bahwa surat itu hanya menyebut kewajiban memakai seragam dan tidak menyebut hijab sama sekali.
Lalu pada akhir Desember 2021, tatkala mereka kembali ke sekolah dengan memakai hijab, menurut Almas, mereka tidak diperbolehkan masuk kelas.
Kepala Sekolah, Rudre Gowda, menuduh keenam siswi tersebut sengaja menciptakan masalah. Padahal, klaim Rudre, sekitar 70 pelajar Muslim lainnya tidak keberatan dengan peraturan sekolah.
Menurut Rudre, awalnya sekitar 12 siswi ingin memakai hijab di sekolah. Namun, jumlah itu berkurang setelah dia berbicara dengan orang tua mereka.
"Yang kami minta adalah ketika pelajaran dimulai, mereka harus mencopot hijab," ujarnya.
Dia menekankan bahwa para guru perlu melihat wajah para pelajar. Menurutnya, seragam membantu memastikan tidak ada diskriminasi terhadap pelajar.
"Tidak ada aturan di dalam buku atau dokumen yang menyebut bahwa hijab dilarang. Kami hanya diberitahu bahwa jika hijab diperbolehkan, lainnya akan meminta memakai syal saffron," kata Masood Manna, pemimpin CFI.
Masood merujuk pada insiden lain di Karnataka. Pada kasus tersebut, pihak sekolah melarang syal saffronwarna yang dianggap sebagai simbol Hinduserta hijab di lingkungan sekolah.
Siswi Muslim diperbolehkan menutupi kepala mereka dengan kain, tapi tidak diperkenankan untuk menguncinya dengan jarum.
Jalur hukum
Jika dibawa ke meja hijau, institusi pendidikan berada di atas angin karena adanya presedennya.
Pada 2018, sebuah sekolah memenangkan sebuah kasus di pengadilan yang diajukan dua pelajar Muslim di Negara Bagian Kerala yang bertetangga dengan Negara Bagian Karnataka. Sekolah tersebut sebelumnya menolak permintaan kedua siswi untuk memakai hijab dan kemeja lengan panjang.
Hakim bernama Muhamed Mustaque memutuskan, inti dari kebebasan membuat kepentingan individu harus tunduk pada kepentingan yang lebih besar.
"Jika pengelola tidak diberikan keleluasaan untuk mengelola institusi, itu akan melucuti hak fundamental mereka," tulis sang hakim.
Akan tetapi, pengacara senior, Kaleeswaram Raj, mengatakan kepada BBC Hindi bahwa putusan itu menempatkan hak pelajar dan hak pengelola sekolah dalam posisi yang saling bertentangan. Itu tidak benar, kata Kaleeswaram.
"Apakah Anda punya hak atau tidak punya hak. Itu adalah sesuatu yang dilindungi Konstitusi dalam Pasal 25 (yang menjamin kebebasan beragama0," paparnya.
Kaleeswaram Raj menilai tidak masuk akal seorang guru ingin mengamati ekspresi wajah pelajar guna memutuskan apakah dia mengikuti pelajaran atau tidak.
"Tapi pengelola sekolah tidak bisa berkeras tidak akan membolehkan para pelajar menutupi rambut mereka untuk mempertahankan keseragaman. Ini tidak diizinkan oleh Konstitusi. Masalah ini sepertinya akan diselesaikan di pengadilan," tambahnya.
Beberapa pertemuan antara pejabat sekolah, perwakilan pemerintah, dan keenam siswi gagal menuntaskan masalah ini.
Sementara itu, Kepala Sekolah, Rudre Gowda, menuduh keenam siswi tersebut menggunakan media sosial untuk memperoleh simpati. Dia menuding mereka kerap datang ke sekolah setelah gerbang ditutup dan melakukan swafoto, beberapa di antaranya telah viral.
Satu dari enam siswi berhijab, Almas AH, membantah tudingan sang kepala sekolah. Menurutnya, foto viral yang memperlihatkan mereka duduk di tangga sekolah diambil untuk menangkis laporan media bahwa mereka diperbolehkan masuk kelas.
"Kami semua pergi ke sekolah setiap hari walaupun tidak diperbolehkan masuk kelas sehingga kami tidak diberitahu belakangan bahwa jumlah kehadiran kami tidak cukup untuk mengikuti ujian," tuturnya.
Sumber: DetikNews