Apabila kita berjalan ke arah selatan Cirebon menuju Ciamis dan tidak mengambil arah jalur Panawangan di Cikijing, maka kita akan melewati daerah yang bernama Panjalu.

Di samping dipakai sebagai nama desa, Panjalu juga digunakan sebagai nama kecamatan. Bahkan dulunya, nama yang identik dengan maskulinitas karena berasal dari kata jalu ini, sempat digunakan sebagai nama sebuah kerajaan. Menurut sejumlah riwayat, Panjalu eksis pada abad ke-13 sampai abad ke-16 (tahun 1200-an sampai dengan tahun 1500-an).

29 Apr 2020Secara geografis, Kerajaan Panjalu memiliki tapal batas berupa bentang alam yang baik karena wilayah itu seolah dijaga oleh rangkaian pegunungan yang ada di sekelilingnya. Diperkirakan bahwa ketika masih ada, Kerajaan Panjalu berbatasan dengan sejumlah kerajaan lain yang ada di sekitarnya, yaitu dengan Kerajaan Talaga, Kerajaan Kuningan, dan Cirebon di sebelah utara; lalu dengan Kawali (Ibukota Kemaharajaan Sunda 1333-1482) di sebelah timur; dan wilayah selatannya berbatasan dengan Kerajaan Galuh; sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Galunggung dan Kerajaan Sumedang Larang.

Sanghyang Borosngora dan Perjalanannya ke Tanah Suci Mekkah

Menurut kisah dalam Babad Panjalu, pemimpin kedelapan dari Kerajaan Panjalu adalah Prabu Sanghyang Borosngora. Ia menggantikan kakaknya, yaitu Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II, yang memilih untuk menyerahkan singgasana kerajaan kepada adiknya, Sanghyang Borosngora, karena ia sendiri hijrah dari Panjalu dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka yang ada di sekitar Gunung Tampomas (Sumedang).
Perjalanan Sanghyang Borosngora menuju tahta Panjalu tidak berjalan dengan mulus karena sebelum itu ia pernah kedapatan memiliki rajah (tattoo) di betisnya yang mengindikasikan pemiliknya menganut ilmu kesaktian peredaran hitam. Hal itu membuat Prabu Sanghyang Cakradewa memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk menyingkir keluar dari Panjalu guna mencari ilmu sejati yang sesuai dengan Anggon-Anggon Kapanjaluan.
Pencarian ilmu yang dilakukan Sanghyang Borosngora pun mengantarkannya ke Tanah Mekkah, yang sangat identik dengan agama Islam. Di wilayah Arab itu, ia mencari kesana kemari mengenai ilmu sejati yang pernah diungkapkan oleh ayahandanya.
Berkat petunjuk banyak orang disana, ia diantarkan kepada seorang lelaki misterius yang ternyata adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. Setelah melihat pelbagai keajaiban yang ada di sekitar Sayidina Ali, Sanghyang Borosngora mantap beralih keyakinan menjadi seorang muslim. Disana ia menimba ilmu dari menantu Rasulullah tersebut.
Singkat cerita, Sanghyang Borosngora berhasil memahami ilmu sejati yang ternyata adalah agama Islam di Mekkah bersama Sayidina Ali. Karena merasa cukup akhirnya ia menyampaikan niatnya untuk kembali ke Panjalu guna menyiarkan agama Islam.
Baginda Ali berwasiat supaya Borosngora melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya, dan ia pun dibekali pelbagai pusaka yang berupa Pedang, Cis (tombak bermata dua atau dwisula), dan pakaian kebesaran. Ia juga membawa gayung berlubang hibahayahnya dan air zam-zam yang ternyata sama sekali tidak tumpah ketika berada di dalamnya.
Sesampainya ke Pulau Jawa, Sanghyang Borosngora segera kembali ke Panjalu dan menghadap kepada ayahandanya yang merasa senang karena anaknya telah berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Ia pun hidup disana bersama keluarganya meskipun mereka berbeda keyakinan. Nilai-nilai toleransi tampak terpancarkan dengan indah dari dalam keluarga kerajaan Panjalu tersebut.
Pedang Sanghyang Borosngora dan Tradisi Nyangku
Prosesi Pelaksanaan Upacara Adat Nyangku Panjalu |
Di samping ilmu sejati yang berhasil diraihnya di Mekkah, Sanghyang Borosngora juga memiliki bekal berupa pusaka-pusaka yang diberikan oleh Sayidina Ali kepadanya. Dalam tradisi yang berkembang di Panjalu, benda-benda yang dibawa oleh Sanghyang Borosngora itu dipercayai memiliki kaitan tersendiri dengan aspek kesejarahan yang ada di daerah mereka.
Air zam-zam yang dibawa Sanghyang Borosngora dari Mekkah, konon menjadi cikal bakal air yang ada di Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Sedangkan gayung berlubang hibahayahnya yang dibawa dari Arab untuk menyimpan air zam-zam, diyakini telah menjelma menjadi sejenis tumbuhan paku yang bentuknya seperti gayung setelah dilemparkan oleh Sanghyang Borosngora ke Gunung Sawal.
Adapun pusaka-pusaka yang berbentuk pedang dan tombak tadi dijadikan sebagai media syiar Islam, melalui tradisi upacara tata cara Nyangku yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal). Menurut masyarakat Panjalu, tradisi ini tidak hanya wujud pelestarian budaya atau penjagaan warisan leluhur semata, namun juga wujud upaya masyarakat untuk memperkenalkan tradisi mereka dan mengenang bahwa masuknya Islam ke Panjalu tidak dapat dilepaskan dari sosok Sanghyang Borosngora.
Tanpa mengesampingkan kontroversi dan segudang pertanyaan yang mengitarinya, kita patut berbangga sepenuh jiwa karena masih ada saudara kita nun jauh disana yang masih rela mengorbankan waktunya untuk menjaga warisan budaya.
Wallahu’alam bishowab...