Wilujeung Sumping di Blog GeegleHayoO

Urang Sunda

25 min read

Kearifan Lokal Orang Sunda Dalam Ungkapan..... (Aam Masduki) 295 

KEARIFAN LOKAL ORANG SUNDA DALAM UNGKAPAN TRADISIONAL DI KAMPUNG KUTA KABUPATEN CIAMIS 
LOCAL WISDOM IN THE EXPRESSIONS OF SUNDANESE TRADITIONAL IN KUTA VILLAGE, CIAMIS DISTRICT 

Aam Masduki Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung Jl. Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung 
email: masduki.aam@ gmail.com 
Naskah Diterima: 27 Februari 2015 Naskah Direvisi:6 April 2015 Naskah Disetujui:11 Mei 2015 
Abstrak 
Masyarakat Sunda termasuk salah satu etnis yang sangat bangga dengan bahasa dan budayanya. Dalam Bahasa Sunda dikenal babasan dan paribasa yang merupakan ungkapan tradisional atau idiom suku Sunda. Isi dari babasan dan paribasa merupakan nilai-nilai dan 
kearifan lokal orang Sunda pada umumnya. Dalam babasan dan paribasa banyak sekali kearifan lokal yang terkandung didalamnya. Nilai dan kearifan lokal ini yang harus tetap dijaga dan dijadikan falsafah hidup orang Sunda. Kearifan lokal mengandung nilai, kepercayaan, dan sistem 
religi yang dianut masyarakat setempat.

Kearifan lokal pada intinya kegiatan yang melindungi dan 
melestarikan alam dan lingkungan. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji dan melestarikan 
kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. Penelitian kearifan lokal dilakukan pada 
masyarakat adat Kuta di Kabupaten Ciamis yang berfokus pada babasan dan paribasa. Metode 
yang digunakan adalah metode deskriptif dalam bentuk kualitatif, dengan teknik pengumpulan 
data berupa observasi partisipasi/pengamatan, wawancara mendalam dengan beberapa informan 
dan pengunjung, serta studi pustaka. Data yang dianalisis meliputi: Makna yang terkandung dalam 
kearifan lokal babasan dan paribasa, terutama yang mengatur tentang manusia sebagai pribadi, 
hubungan manusia dengan lingkungan masyarakat, hubungan manusia dengan alam, hubungan 
manusia dengan Tuhan. 
Kata kunci: kearifan lokal,orang sunda, dalam ungkapan tradisional, di Kampung Kuta. 
Abstract 
Sundanese people is one ofanethnic which is extremely proud of their language and 
culture. In Sundanese, it is known babasan and paribasa which is a traditional expressions or 
idioms of Sundanese tribe. The content of babasan and paribasais the values and local wisdom of 
Sundanese people in general. In babasan and paribasa, there are a lot of local knowledge contain 
there. Values and local wisdoms must be kept and used as a philosophy of Sundanese life. Local 
wisdom contain values, beliefs, and religious system which is adopted by local communities. 
Local wisdom on its core activities protect and preserve the natural and environment. Therefore, it 
is important to study and preserve the local wisdom that flourished in our society.The research of 
local wisdom was performed at Kuta indigenous people in Ciamis district that focuses on babasan 
and paribasa. The method used was descriptive method in the form of qualitative data collection 
techniques such as participatory observation / observation, in-depth interviews with informants 
and visitors, as well as literature. The data analyzed include the meaning in the local wisdom of


296 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 295 - 310 
babasan and paribasa, especially the regulation of the human as a person, human relationships 
with the community, the human relationship with nature, and man’s relationship with God.
Keywords: local wisdom, sundanese, traditional expressions, Kuta village. 
A. PENDAHULUAN 
Pengertian Kearifan lokal adalah suatu 
bentuk kearifan lingkungan yang ada 
dalam kehidupan bermasyarakat di suatu 
tempat atau daerah. Jadi merujuk pada 
lokalitas dan komunitas tertentu. 
Selanjutnya Francis Wahono (2005) 
menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah 
kepandaian dan strategi-strategi penge-
lolaan alam semesta dalam menjaga 
keseimbangan ekologis yang sudah 
berabad-abad teruji oleh berbagai bencana 
dan kendala serta keteledoran manusia. 
Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada 
etika, tetapi sampai pada norma dan 
tindakan dan tingkah laku, sehingga 
kearifan lokal dapat menjadi seperti religi 
yang menjadi pedoman manusia dalam 
bersikap dan bertindak, baik dalam konteks 
kehidupan sehari-hari maupun peradaban 
manusia yang lebih jauh.
Adanya gaya hidup yang konsumtif 
dapat mengikis norma-norma kearifan 
lokal di masyarakat. Untuk menghindari 
hal tersebut, norma-norma yang sudah 
berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya 
turun menurun dan berhubungan erat 
dengan kelestarian lingkungannya perlu 
dilestarikan,yaitu kearifan lokal.
Pengertian pengelolaan sumber daya 
alam dan lingkungan mengacu pada UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan 
lingkungan hidup yang berbunyi Penge-
lolaan lingkungan hidup adalah upaya 
terpadu untuk melestarikan fungsi 
lingkungan hidup yang meliputi kebi-
jaksanaan penataan, pemanfaatan, 
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, 
pengawasan, dan pengendalian lingkungan 
hidup.
 Kearifan lokal merupakan pengetahuan 
lokal yang sudah demikian menyatu 
dengan sistem kepercayaan, norma dan 
budaya dan diekspresikan di dalam tradisi 
dan mitos yang dianut dalam waktu yang 
cukup lama ( Sunaryo dan Laxman (2003). 
Kearifan lokal atau kearifan tradisional, 
yaitu semua bentuk keyakinan, pema-
haman atau wawasan serta adat kebiasaan 
atau etika yang menuntun perilaku 
manusia dalam kehidupan di dalam ko-
munitas ekologis. 
 Pengetahuan lokal ternyata bisa 
menjadi salah satu solusi mengatasi 
dampak perubahan iklim di sektor 
pertanian terutama dalam mengatasi krisis 
pangan ditingkat komunitas. Sebuah 
penelitian terbaru dari International 
Institute for Environment and Development 
(IIED) mengungkapkan kearifan lokal 
yang diajarkan turun temurun telah 
menuntun masyarakat tradisional yang 
terbelakang sekalipun mampu bertahan 
menghadapi perubahan iklim. Praktik-
praktik tradi- disional itu disesuaikan 
dengan ketinggian tempat, jenis tanah, 
curah hujan dan sebagainya yang 
kesemuanya mendukung keberlanjutan 
lingkungan. 
Ungkapan tradisional merupakan 
kearifan lokal yang dimiliki setiap suku 
bangsa dan sangat erat kaitannya dengan 
karakter dan nilai-nilai yang berkembang 
dalam suku bangsa tersebut. Beragamnya 
ungkapan tradisional merupakan hasil dari 
beragamnya kehidupan dan pengalaman 
setiap suku bangsa. Dalam perjalanan 
kehidupan setiap suku bangsa, banyak hal 
yang ditemukan dan dijadikan nilai-nilai 
dalam berkehidupan. 
Dalam perkembangannya, ungkapan 
tradisional berkembang sesuai perkem-
bangan zaman atau globalisasi. Adanya 
arus globalisasi bisa menjadi positif atau 
negatif, tergantung sudut pandang dan cara 
kita menilai dan mempertahankan kearifan 
lokal tersebut. Dalam ungkapan tradisional 
banyak sekali nilai-nilai yang baik, dan 
bisa dijadikan falsafah hidup. Seharusnya 
nilai-nilai ini tetap dipertahankan di tengah 
perkembangan globalisasi. Hal ini menjadi 
permasalahan, bagaimana kita mentrans

Kearifan Lokal Orang Sunda Dalam Ungkapan..... (Aam Masduki) 297 
formasikan dan mengaplikasikan ungkapan 
tradisional dalam kehidupan sehari-hari. 
Agar ungkapan tradisional tetap dapat 
dijaga dan diinformasikan nilai-nilai 
kearifan lokalnya, untuk bertindak laku 
dalam kehidupan dan berkembang sesuai 
perkembangan globalisasi, sesuai dengan 
karakter yang kita miliki sendiri. 
B. METODE PENELITIAN 
 Adapun metode yang dipergunakan 
dalam penelitian ini adalah deskriptif 
dalam bentuk kualitatif. Sesuai dengan 
jenis data yang diperlukan, yakni data 
kualitatif, maka teknik pengumpulan 
datanya pun disesuaikan dengan jenis 
datanya, yaitu dengan menggunakan 
teknik-teknik wawancara terbuka dan 
observasi. Wawancara dilakukan dengan 
tokoh adat beserta jajarannya, beberapa 
orang informan, yang terdiri atas para 
tokoh masyarakat dan aparat di desa, serta 
beberapa orang warga masyarakat yang 
memahami seluk-beluk kehidupan 
masyarakat setempat. 
Tujuan dari penelitian ini yaitu 
mendekripsikan mengenai ungkapan 
tradisional sebagai kearifan lokal dan nilai-
nilainya, untuk dapat berkembang sesuai 
perkembangan globalisasi. 
Manfaat dari penulisan ini yaitu untuk 
memberikan informasi mengenai hu-
bungan dan keunikan ragam babasan dan 
paribasa pada ungkapan tradisional di 
Kampung Kuta Kabupaten Ciamis. 
Penulis membatasi masalah yang akan 
dibahas dalam hal ini, yaitu mengambil 
ungkapan tradisional paribasa dan 
babasan. Hal ini disebabkan paribasa dan 
babasan intensitas pemakaiannya masih 
sering digunakan dalam kehidupan sehari-
hari di Kampung Kuta. 
C. HASIL DAN BAHASAN 
 Kampung Kuta merupakan sebuah 
kampung tradisional yang masih kuat 
memegang aturan para leluhurnya. 
Kampung Kuta ini terletak di Desa 
Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari 
Kabupaten Ciamis. Kampung adat ini 
dihuni masyarakat yang dilandasi kearifan 
lokal, dengan memegang budaya pamali, 
untuk menjaga keseimbangan alam dan 
terpeliharanya tatanan hidup bermasya-
rakat. 
 Kampung Kuta ini terletak di 
perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. 
Namun, warga kampung menggunakan 
bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari 
tanpa tercampur bahasa Jawa. 
 Kampung yang berada di perbatasan 
Jawa Barat dan Jawa Tengah ini kini sudah 
mulai modern sejak listrik masuk ke 
daerahnya pada tahun 1994. Kampung 
Kuta pernah mendapat penghargaan dari 
presiden pada tahun 2002 tentang 
penyelamat lingkungan.
 Ketua adat memimpin kampung, 
mengurus masyarakat, mengurus adat, dan 
mengatur semua yang berhubungan dengan 
adat. Sedangkan untuk kuncen, hanya 
mengantar ke hutan keramat. Untuk 
kuncen ini, biasanya turun temurun dari 
leluhurnya biasanya diturunkan kepada 
anak laki-laki paling besar.
 Nama Kampung Kuta mengacu pada 
lokasi kampung di lembah curam sedalam 
75 meter dan dikelilingi tebing dan 
perbukitan. Dalam bahasa Sunda, hal itu 
disebut kuta (artinya pagar tembok). Aliran 
listrik sudah masuk ke Kampung Kuta, 
sehingga memungkinkan warganya 
menikmati peralatan elektronik, seperti 
televisi, radio, dan telepon seluler. Namun, 
warga Kampung Kuta masih 
mempertahankan bentuk rumah tradisional 
khas Sunda.
 Masyarakatnya sampai saat ini masih 
memegang teguh melestarikan adat 
leluhurnya (karuhun), amanat leluhurnya 
yang masih dipertahankan antara lain :
a. Rumah panggung yang harus beratap 
rumbia atau injuk (tidak boleh 
permanen). Dalam membangun rumah atau 
tempat tinggalnya masyarakat Kampung 
Kuta berpegang teguh pada pepatah atau 
amanah leluhurnya yaitu “Ulah rek di-
kubur hirup-hirup, ulah ngabangun istana 
jadi astana” dalam bahasa sunda yang 
artinya, Jangan mau dikubur hidup-hidup,

298 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 295 - 310 
jangan membangun istana (rumah) yang 
menjadi astana (kuburan). Jika kita artikan 
berdasarkan fenomena yang terjadi saat ini 
yaitu gempa bumi yang melanda 
Tasikmalaya beberapa waktu lalu, pepatah 
tersebut menuntun khususnya masyarakat 
kampung Kuta umumnya kepada kita 
semua untuk membangun rumah yang 
ramah akan gempa, ketaatan tersebut 
membuahkan ketika peristiwa gempa bumi 
tersebut terjadi maka tak ada satu pun 
bangunan atau rumah Kampung Kuta yang 
rusak karena spesifikasi rumah kampung 
adat memang merupakan rumah yang 
ramah akan tahan gempa, sekalipun hancur 
maka dampaknya tidak akan begitu parah 
jika menimpa penghuninya disebabkan 
atap rumah tersebut dibangun dengan 
rumbia atau injuk.
 Masyarakat Kampung Kuta 
memiliki kepercayaan dan adat yang 
berkaitan dengan hutan keramat. Hutan 
keramat dianggap oleh masyarakat sebagai 
tempat yang suci atau sakral sehingga 
masyarakat Kampung Kuta 
memberlakukan berbagai aturan adat untuk 
melindungi hutan keramat tersebut yaitu :
- Tidak boleh mengambil hasil hutan 
seperti kayu, buah-buahan, hewan, dan 
lain sebagainya yang berada di dalam 
hutan keramat.
- Tidak boleh memakai pakaian serba 
hitam, dan pakaian seragam dinas atau 
seragam pemerintah.
- Tidak boleh meludah, buang sampah, 
buang air besar atau kecil yang dapat 
mengotori hutan.
- Tidak boleh berkata tidak sopan atau 
istilah sundanya “sompral” di hutan 
keramat.
- Tidak boleh memakai alas kaki seperti 
sandal dan sepatu.
 Selain itu mereka juga mem-
pertahankan tempat-tempat keramat (tabet-
tabet) yaitu Leuweung Gede, Gunung 
Wayang, Pandan Domas, Gunung Barang, 
Cikasihan, Gunung Goong, dan 
Panyipuhan.
 Melakukan Upacara Adat setiap 
tahunnya yaitu :
1. Nyuguh, diselenggarakan setiap bulan 
Mulud, yang bertujuan untuk 
memperingati Maulid Nabi Besar 
Muhammad SAW, dan sebagai 
ungkapan rasa syukur atas rezeki dan 
terhindar dari malapetaka.
2. Hajat Bumi, diselenggarakan setiap 
Kalimangsa kapat atau pada masa 
panen, tujuannya adalah ungkapan rasa 
syukur atas keberhasilan masyarakat 
Kampung Kuta dalam bercocok tanam, 
sekaligus memohon perlindungan 
untuk masa cocok tanam yang akan 
datang, biasnya diselenggarakan pada 
bulan September sampai November 
atau hari-hari yang dianggap baik.
3. Babarit, diselenggarakan setiap ada 
kejadian alam seperti lini (gempa 
bumi) dan kejadian alam lainnya
4. Upacara mendirikan rumah 
atau ngadegkeun dan mendiami rumah 
baru setelah mendapatkan hari baik.
d. Penduduk yang meninggal harus 
dimakamkan di luar Kampung Kuta. Hal 
ini disebabkan amanah dari leluhurnya 
untuk menjaga kesucian tanah Kampung 
Kuta, berkaitan dengan kesucian tanah 
Kampung Kuta mereka juga tidak 
boleh membangun tempat MCK 
(mandi cuci kakus) mereka memilih 
untuk pergi kesungai jika hendak 
buang air dan sebagainya.
e. Masyarakat memiliki Leuit atau 
penyimpanan gabah atau padi hasil 
panen. Jika terjadi rawan pangan atau 
paceklik, ini mengartikan bahwa 
Kampung Kuta memiliki jiwa sosial 
yang tinggi dan memiliki keinginan 
untuk menabung.
f. Memelihara dan melestarikan pohon 
aren sebagai sumber mata pencaharian 
utama masyarakat Dusun Kuta membuat 
gula aren.
g. Dilarang membuat sumur atau sumur 
bor, hal ini karena dapat merusak tanah 
dan merusak jalur air yang ada di dalam 
tanah, dalam mencukupi kebutuhan airnya 
mereka mengandalkan sumber mata air 
salah satunya dari mata air Ciasihan.


Kearifan Lokal Orang Sunda Dalam Ungkapan..... (Aam Masduki) 299 
 Eksistensi peradaban sebuah bangsa, 
tentunya tidak terlepas dari masa lalu. 
Sebab masa kini terbentuk karena 
peradaban masa lalu yang sudah menjadi 
milik sejarah. Masa sekarang pun akan 
membentuk peradaban masa datang. 
Artinya masa lalu merupakan sebuah 
pelajaran yang harus dipelajari, masa 
sekarang harus kita jalani sebaik mungkin, 
dan masa depan merupakan penerapan 
hasil pembelajaran dari masa lalu dan masa 
sekarang. Tentunya masa lalu itu me-
ninggalkan banyak kearifan lokal (local 
genius). Salah satunya kearifan lokal yang 
dimiliki oleh mayarakat Kampung Kuta. 
Kearifan lokal tersebut tersebar dalam adat 
istiadat, tradisi lisan, seni tradisi, naskah-
naskah tua, dan bentuk-bentuk kebudayaan 
lain yang mencerminkan peradaban masa 
lalu. Nilai-nilai kearifan lokal kiranya 
dapat dimanfaatkan sebagai sumbang nilai 
terhadap kehidupan masa sekarang dan 
masa yang akan datang. Menurut pendapat 
Ayat Rohaedi (1986:40) mengatakan 
bahwa kearifan lokal (local genius) atau 
wujud cerlang budaya mampu bertahan, 
memiliki kemampuan mengakomodasi 
budaya-budaya baru yang menyerbu, 
mampu berintegrasi dengan kebudayaan 
baru atau budaya luar, mam-
pu mengendalikan budaya yang ada, serta 
menyumbangkan nilai untuk arah 
kebudayaan yang akan datang. 
 Orang Sunda memiliki filosofi hi-
dup silih asah, silih asih, silih asuh. 
filosofi ini, kalau ditafsirkan kepada teori 
Benjamin S. Bloom dalam buku-
nya Taxonomy of Education of Objectives, 
Cognitive Domain (1959), dapat diseja-
jarkan dengan ranah kognitif, afektif, dan 
psikomotor. Sebab silih asah itu orientasi 
nilainya kepada peningkatan kualitas 
berpikir, mengasah kemampuan untuk 
mempertajam pikiran dengan tempaan 
ilmu dan pengalaman. Seperti tercermin 
dalam ungkapan “peso mintul mun terus 
diasah tangtu bakal seukeut” artinya pisau 
tumpul kalau terus diasah akan tajam juga; 
atau “cikarakak ninggang batu laun-laun 
jadi legok” artinya air tempias menimpa 
batu lama-lama batunya akan berlubang. 
Dengan kata lain, sebodoh-bodohnya 
orang kalau terus ditempa, suatu saat akan 
ada bekasnya dari hasil pembelajaran itu. 
Makna silih asih, orientasi nilainya kepada 
makna tingkah laku atau sikap individu 
yang memiliki rasa belas kasihan, 
tenggang rasa, simpati terhadap kehidupan 
sekelilingnya atau memiliki rasa sosial 
yang tinggi. Tercermin dalam ungkapan 
“ka cai kudu saleuwi ka darat kudu 
selebak” artinya adalah kebersamaan. 
“Ulah pagiri-giri calik, ulah pagirang-
girang tampian” artinya jangan ada 
permusuhan di antara manusia. Sebab 
manusia itu harus “sareundeuk saigel, 
sabobot sapihanean, sabata sarimbagan,
artinya harus memiliki jiwa kebersamaan, 
gotong royong atau saling menolong. 
 Makna silih asuh, orientasi nilainya 
adalah kasih sayang dalam tindakan yang 
nyata, sikap pragmatik seseorang. 
eksistensi diri, menerapkan potensi diri di 
masyarakat. Kepada yang lebih tua harus 
lebih hormat, kepada sesama harus saling 
menjaga, kepada yang lebih muda harus 
mampu mengayomi dan memberi contoh 
yang baik. Seperti tercermin dalam 
ungkapan “kudu landung kandungan 
kedah laer aisan” artinya hidup harus 
mengayomi orang lain selain mengoyomi 
diri sendiri. “Hirup ulah manggih 
tungtung, paeh ulah manggih beja” 
artinya selamanya dikenang dalam 
kebaikan dan kalau meninggal tidak 
meninggalkan sifat buruk. 
 Dalam pendidikan karakter menurut 
pendapat Khan (2010: 14) bahwa pen-
didikan karakter merupakan pendidikan 
yang tidak saja membimbing, dan mem-
bina setiap anak didik untuk memiliki 
kompetensi intelektual, kompetensi 
keterampilan mekanik, tetapi juga harus 
terfokus kepada pencapaian pembangunan 
dan perkembangan karakter. Jadi, manusia 
terdidik harus memiliki kompetensi 
intelektual atau silih asah, harus memiliki 
kompetensi keterampilan mekanik atau 
silih asuh, dan mampu mencapai

300 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 295 - 310 
pembangunan dan perkembangan karakter 
atau silih asih. 
 Kesadaran akan nilai-nilai lama untuk 
menjadi pegangan hidup yang akan datang 
sebenarnya bagian dari pembentukan 
karakter manusia. Sebab menurut pendapat 
Aziz (2011: 128) yang membentuk 
manusia menjadi paripurna atau insan 
kamil adalah agama dan lingkungan hidup 
yang mempengaruhi hidupnya. Agama 
tentunya hubungan manusia dengan 
penciptanya atau hubungan vertikal. 
Lingkungan adalah hubungan horizontal, 
hubungan manusia dengan manusia atau 
ada interaksi sosial. Manusia Sunda tentu 
saja mengenal hal itu, dalam satu sisi harus 
memiliki keterikatan kepada Yang Di Atas, 
dan satu sisi harus menjadi pelaku di 
buana panca tengah (dunia) untuk 
mengemban azas tri tangtu di buana (resi, 
rama, dan ratu), dan hubungannya harus 
harmonis. Keharmonisan tersebut ter-
cermin dari pragmatisme hidup orang 
Sunda, yaitu karakter religius, karakter 
personal, etos kerja, ketertiban hukum, 
kepemimpinan, dan bidang pendidikan 
atau pengasuhan. 
 Karakter manusia Sunda yang 
diharapkan sebagai manusia yang memiliki 
kepribadian, memiliki sikap, memiliki 
karisma, dan memiliki jiwa kepedulian 
sosial, yaitu (1) kudu hade gogog hade 
tagog, yaitu memiliki penampilan yang 
meyakinkan, optimistik, dan karismatik; 
(2) nyaur kudu diukur, nyabda kudu 
diungang, artinya harus menjaga ucapan, 
tindakan atau perbuatan agar tidak 
menyakiti orang; (3) batok bulu eusi madu, 
artinya yaitu harus memiliki otak atau 
kecerdasan yang baik; (4) ulah bengkung 
bekas nyalahan, yaitu jangan salah berbuat 
karena hasilnya akan sia-sia atau hasilnya 
tidak akan baik; (5) ulah elmu ajug, artinya 
jangan menasihati orang tetapi dirinya 
sendiri butuh nasihat orang lain atau 
jangan mengajak orang lain berbuat baik 
sendirinya saja tidak baik; (6) sacangreud 
pageuh sagolek pangkek, artinya hidup 
harus memiliki prinsip; (7) ulah gindi pikir 
belang bayah, artinya jangan berbuat jahat, 
memiliki pikiran jelek pada orang, atau 
dengki kepada orang; (8) kudu leuleus 
jeujeur liat tali,yaitu hidup itu harus kuat, 
menanggung beban sebarat apa pun jangan 
menyerah. 
 Manusia Sunda pun dituntut memiliki 
katakter menjadi manusia pekerja, manusia 
mandiri, manusia yang memiliki etos kerja. 
Filosofis manusia Sunda sebagai manusia 
pekerja di antaranya: (1) mun teu ngoprek 
moal nyapek, mun teu ngakal moal 
ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih, 
artinya kalau mau makan atau mau 
mempertahankan hidup maka bekerjalah; 
(2) tungkul ka jukut tanggah ka sadapan, 
artinya ialah kerjakan apa yang mesti 
dikerjakan, jangan terganggu oleh hal-hal 
lain yang mengganggu perkerjaan utama 
dan harus rendah hati jika telah 
mendapatkan kesuksesan; (3) ulah kumeok 
memeh dipacok, artinya jangan pernah 
menyerah sebelum melakukan pekerjaan, 
harus tetap optimis; (4) ulah kurung 
batokkeun, artinya manusia harus banyak 
bergaul agar banyak teman dan menambah 
pengalaman; (5) kudu bisa ka bala ka bale, 
artinya manusia itu harus berusaha untuk 
memiliki banyak pengetahuan dan kete-
rampilan, mau bekerja apa saja asal halal, 
jangan memilih-milih pekerjaan yang 
akhirnya malah menganggur; (6) ulah 
muragkeun duwegan ti luhur, yaitu jangan 
mengerjakan sesuatu yang hasilnya malah 
gagal atau sia-sia; (7) ulah cacag 
nangkaeun, yaitu jangan mengerjakan 
sesuatu setangah-setengah sebab hasilnya 
tidak akan memuaskan, malah menjadi 
berantakan; (8) ulah puraga tanpa kateda, 
yaitu jangan mengerjakan sesuatu asal jadi 
saja, pada akhirnya orang yang me-
ngerjakan kitu merasa kecewa akan hasil 
kerja kita; (9) ulah ngarawu ku siku, 
jangan menerima semua pekerjaan, 
serakah, semua tawaran diambil, sebab 
pada akhirnya akan sia-sia bahkan tidak 
akan berbuah; (10) hejo tihang, yaitu 
jangan pindah-pindah tempat kerja; 
(11) muru julang ngaleupaskeun peusing, 
jangan tergiur dengan iming-iming yang 
belum tentu menghasilkan, lebih baik

Kearifan Lokal Orang Sunda Dalam Ungkapan..... (Aam Masduki) 301 
tekuni yang sedang digarap tetapi hasilnya 
sudah menjanjikan. 
 Masalah keadilan harus tertanam juga 
dalam manusia Sunda. Leluhur Sunda 
sudah memberikan filosofis tentang 
keadilan, tujuannya agar manusia Sunda 
memiliki jiwa adil dan beradab, seperti 
yang tercermin dalam: (1) ulah cueut ka nu 
hideung ulah ponteng ka nu koneng, yaitu 
katakan salah bila salah, katakan benar 
kalau memang benar, jangan berpihak 
kepada yang salah; (2) kudu nyanghulu ka 
hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka 
balarea, yaitu aturan harus bersumber 
kepada hukum, harus berbakti benar ke 
negara, dan kebenaran itu harus menurut 
orang banyak (rakyat); (3) kudu puguh 
bule hideungna, yaitu perkara itu harus 
jelas aturannya bila ingin mengambil 
tindakan; (4) bobot pangayon timbang 
taraju, artinya menimbang kesalahan harus 
dengan aturan yang jelas seusuai dengan 
kesalahan yang diperbuatnya; (5) nu lain 
kudu dilainkeun, nu enya kudu dienyakeun, 
nu ulah kudu diulahkeun; artinya harus 
berkata jujur jangan melarang-larang 
sesuatu yang tidak sesuai dengan 
kebenaran. 
 Ungkapan tradisional merupakan 
bagian dari khasanah folklor. Menurut 
Danandjaja (1984: 17) folklor perlu 
dipelajari sebab folklor mengungkapkan 
baik secara sadar maupun tidak, bagaimana 
folk pendukungnya itu berpikir. Selain itu 
folklor juga mengabadikan apa-apa yang 
dirasakan penting (dalam suatu masa) oleh 
folk pendukungnya. 
 Menurut Budi Rahayu Tamsyah, et al 
dalam b menjelaskan ungkapan tradisional 
di Sunda salahsatunya adalah Babasan dan 
Paribasa. Babasan adalah segala ucapan 
yang sudah tetap dan jelas aturan 
pemakaiannya. Sedangkan yang disebut 
dengan paribasa adalah perbandingan yang 
menjadi perlambang kehidupan, dibuat 
dalam satu runtuyan kata dan sudah tetap 
aturan bahasanya. 
Babasan dan Paribasa merupakan 
ungkapan tradisional atau idiom suku 
Sunda. Isi dari babasan dan paribasa 
merupakan nilai-nilai dan kearifan lokal 
orang Sunda pada umumnya. Dalam 
babasan dan paribasa banyak sekali 
kearifan lokal yang terkandung di da-
lamnya. Kearifan lokal tersebut menjadi 
karakter atau falsafah orang Sunda pada 
umumnya. Nilai dan kearifan lokal ini 
yang harus tetap dijaga dan dijadikan 
falsafah hidup orang Sunda, sebagai 
bentuk wujud nilai yang terkandung dalam 
babasan dan paribasa. 
Babasan dan paribasa mempunyai 
aturan yang sudah tetap atau sering disebut 
bahasa pakeman, sehingga babasan dan 
paribasa tidak bisa berubah atau pun 
diubah. Hal ini berdasarkan bahwa babasan 
dan paribasa memiliki aturan tetap.Yang 
dimaksudkan agar nilai-nilai dari babasan 
dan paribasa tetap terjaga. 
Menurut Warnaen (1987:8) pandangan 
hidup orang Sunda dapat dikategorikan 
menjadi lima, yaitu: (1) pandangan hidup 
tentang manusia sebagai pribadi, (2) 
pandangan hidup tentang manusia dengan 
lingkungan masyarakat, (3) pandangan 
hidup tentang manusia dengan alam, (4) 
pandangan hidup tentang manusia dengan 
Tuhan, (5) pandangan hidup tentang 
manusia dalam mengejar kemajuan lahi-
riyah dan kepuasan batin. Kelima pan-
dangan itu kalau dihayati dan digali tidak 
mungkin akan terjadi konflik, baik yang 
disebabkan oleh perbedaan agama, suku, 
bahasa, ras, warna kulit, maupun 
perbedaan status sosial yang lainnya. 
Pandangan Hidup tentang Manusia sebagai 
Pribadi 
Banyak ungkapan tradisional yang me-
ngandung kearifan lokal yang isinya meru-
pakan pandangan hidup tentang manusia 
sebagai pribadi. Ungkapan tradisional itu 
sebagai berikut: 
1) Kudu hade gogog hade tagog.
Makna yang terkandung dalam 
ungkapan tradisional tersebut yaitu, 
harus baik budi bahasa dan baik 
tingkah laku. Maksud dari ungkapan 
tersebut bahwa kita dalam bergaul 
dengan orang lain senantiasa harus

302 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 295 - 310 
memperlihatkan perangai dan tingkah 
laku yang baik. Apabila bersikap 
seperti itu, kita akan dengan mudah 
bergaul dengan orang lain. Orang lain 
akan menyenangi kita. Dengan siapa 
saja kita bergaul tidak akan 
menemukan masalah. Sangat tidak 
mungkin akan terjadi konflik, karena 
antara budi bahasa yang digunakan 
dengan tingkah laku sejalan. 
2) Nyaur kudu diukur, nyabda kudu 
diungang (berkata harus diukur, 
bersabda harus ditimbang).Makna 
yang terkandung dalam ungkapan 
tersebut yaitu, segala perkataan harus 
dipertimbangkan sebelum 
diucapkan.Senantiasa kita harus 
mampu mengendalikan diri dalam 
berkata-kata. Konflik yang terjadi di 
Indonesia pada awalnya dari hal yang 
sepele. Biasanya dari ucapan yang 
menyakitkan. Ucapan itu keluar karena 
tidak diper-timbangkan terlebih 
dahulu. Akibatnya pihak yang lain 
merasa sakit hati, maka terjadilah 
konflik. Oleh karena itu kita harus 
hati-hati dengan ucapan. Kaitan 
dengan hal ini dalam etnis Melayu kita 
sudah diperingatkan dengan ungkapan 
lidah lebih tajam daripada pedang. Ini 
menunjukkan bahwa pengaruh dari 
ucapan kita yang menyakitkan orang 
lain lebih dahsat daripada sekedar 
pedang. Luka karena pedang dengan 
mudah bisa diobati, tapi luka hati 
karena ucapan akan sulit untuk 
diobatinya. 
3) Batok bulu eusi madu.
Artinya, diluarnya buruk di dalamnya 
bagus. Misalnya tampaknya miskin 
dan bodoh, tetapi kaya atau pandai. 
4) Ulah bengkung bekas nyalahan.
Artinya, tingkah laku harus tetap baik 
dan benar, jangan menyimpang. 
5) Ulah elmu ajug. Artinya, orang yang 
hanya dapat menasehati orang lain 
agar berbuat baik, tetapi dia sendiri 
berbuat keburukan. 
 
6) Henteu gedag bulu salambar.
Artinya, tidak merasa gentar 
sedikitpun menghadapi musuh. 
7) Sacangreud pageuh sagolek pangkek 
Artinya, teguh memegang pendirian, 
tidak pernah melanggar janji. 
8) Indung suku oge moal dibejaan.
Artinya, harus teguh menyimpan 
rahasia, apalagi rahasia negara. 
9) Ulah gindi pikir belang bayah.
Artinya, jangan buruk hati, jangan 
punya pikiran buruk terhadap sesama. 
10) Hambur bacot murah congcot.
Artinya, banyak cakap, cerewet dan 
sering memarahi tetapi suka memberi 
makanan. 
11) Kudu boga pikir rangkepan.
Artinya, harus punya curiga tidak 
mudah percaya kepada orang lain.
Pandangan Hidup Manusia dengan 
Lingkungan Masyarakat
Kearifan lokal yang merupakan 
pandangan hidup manusia dengan 
lingkungan masyarakat yang akan penulis 
analisis sebagai berikut. 
1) Kudu silih asih, silih asah, jeung silih 
asuh (Harus saling mengasih, saling 
mengasah, dan saling mengasuh). 
Makna yang terkandung dalam 
ungkapan tradisional tersebut dapat 
dijelaskan sebagai berikut. 
Silih asih, bahwa kita hidup dengan 
sesama harus saling mengasihi. Kita 
harus menolong orang yang 
membutuhkan pertolongan kita. Hal ini 
sesuai dengan ungkapan dalam budaya 
Sunda kudu nulung ka nu butuh, nalang 
ka nu susah. Sepanjang kita mampu, 
apa pun bentuk pertolongan kita apabila 
ada orang yang membutuhkan, maka 
kita dengan didasari rasa cinta siap 
untuk menolongnya. Pertolongan yang 
kita berikan semata-mata karena ingin 
membantu, lilahitaala tidak didasari 
karena ingin diberi imbalan. 
 Silih asah, artinya saling 
memberi pengalaman dan pengetahuan, 
kekurangan seseorang ditambah oleh 
orang lain, kesalahan seseorang

Kearifan Lokal Orang Sunda Dalam Ungkapan..... (Aam Masduki) 303 
diperbaiki oleh sesama anggota 
masyarakatnya (Lubis, 2001). 
 Dalam konteks ini kita harus 
saling membelajarkan, harus saling 
mengisi dengan ilmu pengetahuan, 
sehingga kita semua menjadi manusia 
yang memiliki pengetahuan yang luas. 
Oleh karena itu kita jangan kikir dengan 
ilmu yang kita miliki. Ilmu yang kita 
miliki harus senantiasa diamalkan 
kepada orang lain yang membutuhkan. 
Berdiskusi, bertukar pikiran, dialog, dan 
kritik yang konstruktif pada hakikatnya 
merupakan implementasi dari silih 
asah. 
 Silih asuh, artinya kita harus 
saling menjaga, melindungi, 
memperhatikan, mengarahkan, dan 
membimbing ke arah kebaikan. Dengan 
demikian terjalin suasana damai, saling 
menghormati, dan penuh rasa 
kekeluargaan. Ungkapan silih asih, silih 
asah, dan silih asuh sekarang sudah 
menjadi ungkapan nasional. Ini terbukti 
dengan seringnya para pejabat negara 
mulai dari presiden sampai pejabat di 
bawahnya dalam berpidato atau 
memberikan pengarahan 
menyampaikan ungkapan tersebut. Hal 
ini bisa dimaklumi karena konsep silih 
asih, silih asah, silih asuh merupakan 
konsep tradisional yang penting dalam 
membina hubungan antar masyarakat, 
sekaligus mencegah terjadinya konflik. 
2) Kawas gula jeung peueut (Seperti gula 
dengan nira yang matang). Gula dan 
peueut tidak bisa dipisahkan. Gula yang 
dimaksud di sini yaitu gula merah dari 
pohon aren. Sebelum menjadi gula yang 
bisa dicetak namanya peueut (gula yang 
masih muda). Baik gula maupun peueut
sama-sama rasanya manis. Jadi, makna 
dari ungkapan tersebut yaitu hidup 
rukun, damai, saling menyayangi, tak 
pernah berselisih. 
Gula dan peueut tidak bisa 
dipisahkan, karena gula berasal dari 
peueut. Begitupun masyarakat 
Indonesia idealnya harus seperti peueut
dan gula. Selamanya bersatu tidak 
terjadi perpecahan walaupun hidup 
dalam keberagaman. 
Tentang Manusia dengan Alam Pandangan 
Hidup
Kearifan masyarakat Sunda yang 
merupakan pandangan hidup tentang 
manusia dengan alam menurut (Warnaen, 
1987:20), yaitu: (1) Manuk hiber ku 
jangjangna, (2) Jalma hirup ku akalna, (3) 
Jawadah tutung biritna sacarana-
sacarana, dan(4) Leutik ringkang gede 
bugang.
 
1) Manuk hiber ku jangjangna jalma 
hirup ku akalna (Burung terbang 
dengan sayapnya, manusia hidup 
dengan akalnya). Makna yang 
terkandung dalam ungkapan tersebut, 
yaitu setiap makhluk masing-masing 
telah diberi cara atau alat untuk 
melangsungkan kehidupannya. Oleh 
kare-na itu, jangan coba-coba kita 
merusak alam, karena akan merusak 
ekosistem yang sudah dibangun secara 
alami. Akibat dari 
 ekosistem yang rusak, keseimbangan 
alam menjadi tidak stabil. Dari alam 
yang tidak stabil, akan menimbulkan 
bencana di mana-mana. Bencana alam 
yang terjadi selama ini di Indonesia, 
tidak menutup kemungkinan karena 
ekosistem alam ini sudah rusak sebagai 
akibat ulah manusia. Akibat dari 
bencana alam itu bisa saja akan 
menimbulkan konflik, karena 
kehidupan masyarakat tidak menentu 
dan penuh kepanikan. 
2) Jawadah tutung biritna sacarana-
sacarana. Ungkapan ini maknanya 
sama dengan ungkapan ciri sabumi 
cara sadesa, yaitu setiap bangsa 
memiliki cara dan kebiasaan masing-
masing. Oleh karena itu, kita harus 
menghargai dan menghormati cara dan 
kebiasaan orang lain walaupun cara dan 
kebiasaan itu berbeda dengan kita. Di 
dalam budaya Melayu ada ungkapan “di 
mana bumi dipijak disitu langit 
dijunjung”. Makna yang terkandung


304 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 295 - 310 
dalam ungkapan tersebut yaitu apabila 
kita berada di suatu daerah tertentu, 
maka kita harus mengikuti adat istiadat 
atau budaya daerah tersebut. Dengan 
demikian, selamanya kita akan hidup 
damai walaupun hidup dalam 
keberagaman budaya, agama, suku 
bangsa, warna kulit, bahasa, dan lain-
lain. 
3). Leutik ringkang gede bugang.
Artinya, manusia itu meskipun kecil 
badannya, kalau meninggal dalam 
perjalanan, besar urusannya tidak 
seperti binatang. 
Pandangan Hidup tentang Manusia dengan 
Tuhan
Sedikitnya ada enam ungkapan 
tradisional yang mengandung kearifan 
sebagai pandangan hidup tentang manusia 
dengan Tuhan (Warnaen,1987:20). Dari 
keenam itu hanya dua yang akan penulis 
analisis, yaitu mulih ka jati mulang ka 
asal, dan dihin pinasti anyar pinanggih. 
1) Mulih ka jati mulang ka asal (Kembali 
ke sejati pulang ke asal). Konsep 
dalam ungkapan ini sama dengan apa 
yang terdapat dalam ajaran Islam, 
yaitu bahwa manusia diciptakan oleh 
Tuhan pada akhirnya akan kembali 
kepada Tuhan. Oleh karena itu, kita 
senantiasa me- nyiapkan diri untuk 
bekal nanti di alam yang kekal. Orang 
yang mengetahui ungkapan itu, tidak 
mungkin untuk membuat permusuhan 
di dunia ini. Justru dia akan membuat 
kedamaian dengan menjalin 
silaturahmi dengan siapa pun tanpa 
melihat perbedaan yang dimilikinya. 
Dia menganggap, bahwa secara sosial 
semua manusia yang ada di muka 
bumi ini saudara. 
2) Dihin pinasti anyar pinanggih (Sejak 
dahulu ditentukan baru sekarang 
dijumpai). Maksud dari ungkapan ini 
yaitu, segala sesuatu yang dialami 
sekarang sesungguhnya sudah ada 
yang menentukan terlebih dahulu. 
Segala sesuatu yang terjadi semata-
mata kehendak Tuhan. Namun, bukan 
berarti kita harus diam tanpa usaha. 
Justru ungkapan ini secara inplisit 
menyuruh kepada kita untuk 
berikhtiar. 
Bukan berarti ketika konflik terjadi 
lalu kita menyerah dengan alasan 
bahwa ini sudah kehendak Tuhan, 
tanpa ada ikhtiar bagaimana supaya 
tidak terjadi konflik. Justru Tuhan 
menyuruh kepada kita bagaimana 
caranya supaya tidak terjadi konflik. 
3) Nimu luang tina burang.
Artinya, mendapat pengalaman atau 
pengetahuan pada waktu mendapat 
kecelakaan. 
4) Buaya mangap batang liwat.
Artinya, memperoleh sesuatu yang 
sangat diharapkan dengan tak terduga
sebelumnya. 
Pandangan Hidup tentang Manusia dalam 
Mengejar Kemajuan Lahiriah dan Kepuasan 
Batin 
Dalam mengejar kemajuan lahiriah 
hendaknya kita mengacu pada ungkapan 
dalam budaya Sunda sebagai berikut. 
1) Ulah ngukur baju sasereg awak.
Artinya, jangan mempertimbangkan 
sesuatu hanya dari segi kepentingan 
pribadi. 
2) Ulah pupulur memeh mantun.
Artinya, jangan meminta upah sebelum 
bekerja. 
3) Ulah kumeok memeh dipacok.
Artinya, kalau menghadapi pekerjaan 
janganlah sebelum apa-apa sudah 
merasa berat. 
4) Mending waleh batan leweh.
Artinya, lebih baik berterus terang dari 
pada terus menanggung kedukaan. 
5) Mending kendor ngagembol, 
tinimbang gancang pincang. Artinya, 
lebih baik lambat tetapi dengan banyak 
hasilnya daripada cepat dengan sedikit 
hasil. 
6) Asa mobok manggih gorowong.
Artinya, orang yang sedang mencari

Kearifan Lokal Orang Sunda Dalam Ungkapan..... (Aam Masduki) 305 
jalan, lalu mendapat pula pertolongan 
sehingga merasa senang. 
7) Ulah puraga tamba kadenda.
Artinya, dalam mengerjakan suatu 
pekerjaan jangan asal dikerjakan saja, 
tetapi harus dengan sungguh-sungguh 
sehingga hasilnya memuaskan. 
8) Batan, kapok anggur gawok.
Artinya, dari pada berhenti 
melakukan pekerjaan yang tidak baik, 
malah makin menjadi-jadi. 
9) Ulah gasik nampi gancang narima.
Artinya, jangan terburu-buru 
menerima sesuatu, hendaknya 
dipikirkan dulu baik buruknya. 
10) Kudu bisa lolondokan. Artinya, 
pandai menyesuaikan diri. 
11) Ulah pagiri-giri calik, pagirang-
girang tampian. Makna dari 
ungkapan ini yaitu: Untuk 
mendapatkan keuntungan atau 
kekuasaan jangan saling berebutan 
tanpa mengindahkan kepentingan 
bersama. Kekuasaan atau jabatan 
yang diperoleh dengan cara-cara yang 
kurang baik, pada akhirnya akan 
berujung dengan kekacauan atau 
konflik. Konflik akan terjadi antara 
pejabat berikut pendukungnya dengan 
orang berikut pendukungnya yang 
seharusnya menempati jabatan 
tersebut. Selain itu, jabatan yang 
diperoleh dengan cara-cara kurang 
baik biasanya tidak memperhatikan 
keahlian atau profe-sionalisme orang 
yang akan menempati jabatan 
tersebut. Yang penting dia punya 
banyak uang dan kekuatan. Akibatnya 
dia tidak mampu melaksanakan tugas 
dengan baik. Dalam situasi seperti ini, 
lama-kelamaan negara Indonesia akan 
hancur. 
 Begitupun dalam mendapatkan keun-
tungan yang lainnya harus diperoleh 
dengan cara yang sesuai dengan norma-
norma yang berlaku, jangan merugikan 
orang lain. Oleh karena itu, untuk 
memperoleh jabatan hendaknya 
menempuh mekanisme atau norma-norma 
yang sudah disepakti bersama. Semua 
pihak harus konsisten atau berpegang 
teguh kepada norma-norma yang sudah 
disepakati bersama itu. 
 Seperti yang tertuang dalam 
ungkapan, Kudu paheuyeuk-heuyeuk 
leungeun (Harus saling berpegangan 
tangan). Manusia merupakan makhluk 
sosial. Satu sama lain saling 
membutuhkan. Oleh karena itu kita sebagai 
manusia harus tolong-menolong. Tolong-
menolong merupakan awal dari terciptanya 
kedamaian. Budaya tolong-menolong di 
masyarakat perkotaan dewasa ini sudah 
berkurang. Hal ini karena kehidupan di 
perkotaan sudah bersifat individualistis. 
Kepedulian kepada sesama sudah 
berkurang. Tentu saja kalau ini tidak cepat 
ditanggulangi merupakan sebuah ancaman 
akan terjadinya perpecahan. Caranya 
dengan kembali memahami ungkapan 
tradisional yang mengandung kearifan 
lokal. Upaya riilnya, yaitu menciptakan 
suasana kekeluargaan dengan sesama. 
Umpamanya melalui kegiatan pengajian 
bersama, arisan warga, jalan-jalan 
bersama, dan lain-lain. 
Sebaliknya dengan di kota, suasana 
tolong-menolong di desa sampai hari ini 
masih kelihatan. Upamanya apabila ada 
tetangga membangun rumah, keluarga 
yang lainnya sibuk mengirim makanan 
untuk sekadar mengurangi beban 
tetangganya yang sedang membangun itu. 
Begitu pun dalam mengerjakan 
bangunannya, banyak anggota masyarakat 
yang lainnya ikut membantu tanpa dibayar. 
Namun suasana yang penuh dengan 
gotong-royong itu tidak menutup 
kemungkinan akan hilang seperti di kota, 
apabila masyarakat di desa tidak 
memahami makna yang terkandung dalam 
ungkapan tradisional tersebut. 
Kaitannya dengan manusia dalam 
mengejar kepuasan batiniah, di dalam 
budaya Sunda ada ungkapan sebagai 
berikut. 
1) Tiis ceuli herang mata (Sejuk 
pendengaran, bening 
penglihatan).Ungkapan ini 
menghendaki agar dalam kehidupan

306 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 295 - 310 
ini situasinya tenang, damai, 
tentram, dan tidak mendengar atau 
melihat sesuatu yang jelek atau 
kacau. Suasana ini hanya bisa 
terwujud apabila di antara 
masyarakat tidak ada konflik. 
Jadi, pesan dari ungkapan tersebut 
yaitu kita jangan berkonflik apa pun 
alasannya. Konflik itu akan 
membuat situasi tidak tenang, tidak 
damai, dan tidak tentram. Kalau 
situasinya seperti itu mana mungkin 
negara kita bisa membangun. Kita 
akan cape menyelesaikan konflik. 
Waktu akan habis digunakan untuk 
memulihkan keadaan. Seperti 
halnya ketika kita menyelesaikan 
konflik di Aceh. 
2) Kudu bisa mihapekeun maneh
(Harus dapat menitipkan diri). 
Sebagai manusia harus berperilaku 
baik. Dengan demikian banyak 
orang yang menyu-kainya. Di 
manapun dia berada walaupun 
berbeda agama, suku, budaya, dan 
lain-lain, kalau perilakunya baik, 
maka dia akan selamat dan akan 
mudah bersosialisasi. 
Sebagaimana telah diuraikan di 
muka bahwa konflik yang besar itu 
awalnya disebabkan oleh masalah 
kecil, perselisihan antarindividu. Ini 
semua akibat dari salah satu atau 
kedua-duanya tidak berperilaku baik 
atau tidak bisa menitipkan diri. 
Apabila kita ingin hidup tentram, 
damai, dan disayangi oleh orang 
lain, maka kita harus bisa 
menitipkan diri. Kita berada di 
tempat atau lingkungan baru harus 
pandai-pandai menitipkan diri, 
jangan membuat orang lain jengkel 
melihat perilaku kita. 
Menurut Budi Rahayu Tamsyah, et al 
dalam buku 1.000 babasan jeung paribasa
membagi babasan dan paribasa dalam tiga 
golongan, yaitu : 
1. Paribasa Wawaran Luang
Paribasa wawaran luang menjelaskan 
mengenai pengalaman yang sudah lumrah 
di masyarakat, serta merupakan bahan 
perbandingan tingkah laku manusia. 
Contohnya: 
1) Adat kakurung ku iga
Adat atau kebiasaan yang sulit untuk 
diubah. Dari paribasa ini kita bisa 
melihat bahwa terkadang kebiasaan 
manusia sulit diubah. 
2) Mihapé hayam ka heulang
Makna dari ungkapan tersebut adalah 
menitipkan barang atau sesuatu kepada 
seseorang yang tidak jujur atau 
membahayakan. Maksud dari paribasa 
ini adalah untuk menjelaskan bahwa 
kita harus berhati-hati menitipkan 
sesuatu hal kepada orang yang belum 
kita ketahui. 
2. Paribasa Pangjurung Laku Hadé 
Paribasa pangjurung laku hadé
merupakan paribasa yang isinya 
mendorong untuk berprilaku baik. Adapun 
contoh dari paribasa ini adalah : 
1) Cikaracak ninggang batu laun-laun 
jadi legok
Apabila sesuatu dilakukan dengan 
sungguh-sungguh, meskipun sulit pasti 
bisa dilakukan. Paribasa ini 
mengajarkan kita sesulit apa pun suatu 
hal apabila kita lakukan sungguh-
sungguh pasti bisa dilakukan. 
2) Ka hareup ngala sajeujeuh, ka tukang 
ngala sajeungkal
Makna dari ungkapan tersebut adalah 
hidup harus berhati-hati dan penuh 
dengan perhitungan. Dari paribasa ini 
mengajar-kan bahwa kita hidup jangan 
terlalu terburu-buru dalam bertindak, 
tetapi kita harus berhati-hati dan penuh 
perhitungan. 
3. Paribasa Panyaram Lampah Salah
Paribasa panyaram lampah salah.
menjelaskan mengenai larangan-larangan 
untuk tidak melakukan hal-hal yang salah 
atau membuat celaka. Adapun contoh dari 
paribasa ini adalah sebagai berikut : 
1) Ulah pupulur méméh mantun
Jangan meminta upah sebelum kita 
bekerja.
2) Ulah meungpeun carang ku ayakan

Kearifan Lokal Orang Sunda Dalam Ungkapan..... (Aam Masduki) 307 
3) Artinya jangan berpura-pura tidak 
tahu, membiarkan seseorang 
melakukan hal atau tindakan yang 
salah. 
4) Ulah cul dogdog tinggal igel
Artinya jangan meninggalkan 
pekerjaan tetap, untuk pekerjaan yang 
tidak jelas penghasilannya. 
Babasan dan paribasa dalam perkembangan 
Globalisasi
 Globalisasi adalah suatu proses 
dimana anta individu, antarkelompok, dan 
antar negara saling berinteraksi, 
bergantung, terkait, dan memengaruhi satu 
sama lain yang melintasi batas negara. 
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai 
banyak karakteristik yang sama 
dengan internasionalisasi sehingga kedua 
istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian 
pihak sering menggunakan istilah 
globalisasi yang dikaitkan dengan 
berkurangnya peran negara atau batas-
batas negara. 
 Globalisasi juga bisa menimbulkan 
dampak positif dan negatif. Positif dan 
negatifnya suatu hal dalam globalisasi 
tergantung pada setiap sudut pandang dan 
kebudayaan tiap-tiap negara. Hal ini bisa 
kita lihat dalam fenomena-fenomena 
globalisasi yang memengaruhi kebu-
dayaan di negara kita. Salah satu dampak 
dari fenomena globalisasi itu bisa kita lihat 
melalui sudut pandang Babasan dan 
Paribasa. Contoh dampak fenomena 
globalisasi, yaitu : 
Kemajuan Teknologi 
 Kemajuan teknologi merupakan 
fenomena globalisasi yang bisa berdampak 
positif ataupun negatif. Hal ini tidak bisa 
kita cegah, karena kemajuan tekhnologi 
setidaknya dibutuhkan dan akan selalu 
berkembang sesuai zaman. Dampak positif 
dari kemajuan tekhnologi, kita bisa lebih 
mudah untuk berkomunikasi dan 
berhubungan sosial antarnegara. Sementara 
dampak negatif dari kemajuan teknologi 
ini sendiri, banyaknya orang yang 
menyalahgunakan kemajuan teknologi 
untuk memeroleh informasi-informasi 
yang salah. 
 Adapun babasan dan paribasa 
orang Sunda yang sesuai dengan konteks 
kemajuan teknologi yaitu : 
1) Kudu bisa miindung ka waktu, mibapa 
ka jaman. Artinya kita harus bisa 
mengikuti perkembangan jaman. 
Dengan paribasa ini setidaknya kita 
bisa lebih positif menggunakan 
tekhnologi sesuai dengan aturan dan 
perkembangan jaman. 
2) Bengkung ngariung,bongkok 
ngaronjok.
Artinya sekalipun hidup susah, yang 
terpenting hidup berkumpul bersama 
keluarga. Paribasa ini sudah jarang 
digunakan lagi di tengah 
perkembangan tekhnologi pada zaman 
sekarang. Banyak orang Sunda yang 
belajar jauh ke luar negeri, akibat 
informasi dari teknologi. Kemajuan 
teknologi bisa menjadi positif apabila 
kita tetap berpegang teguh pada adat 
ketimuran kita, seperti tetap berpegang 
teguh pada paribasa atau babasan.Tapi 
kita juga harus lebih pintar memilih 
ungkapan dari paribasa yang sesuai 
dan positif terhadap perkembangan 
globalisasi. 
 Timbulnya rasa bebas dan 
keterbukaan dalam setiap tindakan, hal ini 
bisa menjadi dampak positif, contohnya 
kebebasan dan terbuka dalam 
mengemukakan pendapat. Dengan adanya 
kebebasan dan keter- bukaan dalam 
berpendapat kita bisa lebih mudah 
mengemukakan pendapat kita kepada 
khalayak umum. 
 Sedangkan dampak negatif dari 
kebebasan contohnya: budaya seks bebas, 
hedonisme, dan lain-lain. Hal ini sangat 
berlawanan dengan adat ketimuran kita. 
Adapun paribasa dan babasan yang sesuai 
dengan fenomena ini adalah: 
1). Abong biwir teu diwengku
Artinya orang yang bicaranya tidak 
diatur atau asal bicara. Ini biasanya 
digunakan untuk sindiran kepada 
orang yang dalam berpendapatnya



Bersyukurlah Jika Semua Orang Bisa Tertawa Dan Senang Karena Kebodohanmu, Daripada Menjadi Orang Pintar Tetapi Selalu Menyusahkan Semua Orang...

Anda mungkin menyukai postingan ini

Posting Komentar

Bagaimana dengan Artikel ini?
Silahkan Anda Bebas Berpendapat!
((
___; )
(6