KEARIFAN LOKAL ORANG SUNDA DALAM UNGKAPAN TRADISIONAL DI KAMPUNG KUTA KABUPATEN CIAMIS
LOCAL WISDOM IN THE EXPRESSIONS OF SUNDANESE TRADITIONAL IN KUTA VILLAGE, CIAMIS DISTRICT
Aam Masduki Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung Jl. Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung
email: masduki.aam@ gmail.com
Naskah Diterima: 27 Februari 2015 Naskah Direvisi:6 April 2015 Naskah Disetujui:11 Mei 2015
Abstrak
Masyarakat Sunda termasuk salah satu etnis yang sangat bangga dengan bahasa dan budayanya. Dalam Bahasa Sunda dikenal babasan dan paribasa yang merupakan ungkapan tradisional atau idiom suku Sunda. Isi dari babasan dan paribasa merupakan nilai-nilai dan
kearifan lokal orang Sunda pada umumnya. Dalam babasan dan paribasa banyak sekali kearifan lokal yang terkandung didalamnya. Nilai dan kearifan lokal ini yang harus tetap dijaga dan dijadikan falsafah hidup orang Sunda. Kearifan lokal mengandung nilai, kepercayaan, dan sistem
religi yang dianut masyarakat setempat.
Kearifan lokal pada intinya kegiatan yang melindungi dan
melestarikan alam dan lingkungan. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji dan melestarikan
kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. Penelitian kearifan lokal dilakukan pada
masyarakat adat Kuta di Kabupaten Ciamis yang berfokus pada babasan dan paribasa. Metode
yang digunakan adalah metode deskriptif dalam bentuk kualitatif, dengan teknik pengumpulan
data berupa observasi partisipasi/pengamatan, wawancara mendalam dengan beberapa informan
dan pengunjung, serta studi pustaka. Data yang dianalisis meliputi: Makna yang terkandung dalam
kearifan lokal babasan dan paribasa, terutama yang mengatur tentang manusia sebagai pribadi,
hubungan manusia dengan lingkungan masyarakat, hubungan manusia dengan alam, hubungan
manusia dengan Tuhan.
Kata kunci: kearifan lokal,orang sunda, dalam ungkapan tradisional, di Kampung Kuta.
Abstract
Sundanese people is one ofanethnic which is extremely proud of their language and
culture. In Sundanese, it is known babasan and paribasa which is a traditional expressions or
idioms of Sundanese tribe. The content of babasan and paribasais the values and local wisdom of
Sundanese people in general. In babasan and paribasa, there are a lot of local knowledge contain
there. Values and local wisdoms must be kept and used as a philosophy of Sundanese life. Local
wisdom contain values, beliefs, and religious system which is adopted by local communities.
is important to study and preserve the local wisdom that flourished in our society.The research of
local wisdom was performed at Kuta indigenous people in Ciamis district that focuses on babasan
and paribasa. The method used was descriptive method in the form of qualitative data collection
techniques such as participatory observation / observation, in-depth interviews with informants
and visitors, as well as literature. The data analyzed include the meaning in the local wisdom of
296 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 295 - 310
babasan and paribasa, especially the regulation of the human as a person, human relationships
with the community, the human relationship with nature, and man’s relationship with God.
Keywords: local wisdom, sundanese, traditional expressions, Kuta village.
A. PENDAHULUAN
Pengertian Kearifan lokal adalah suatu
bentuk kearifan lingkungan yang ada
dalam kehidupan bermasyarakat di suatu
tempat atau daerah. Jadi merujuk pada
lokalitas dan komunitas tertentu.
Selanjutnya Francis Wahono (2005)
menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah
kepandaian dan strategi-strategi penge-
lolaan alam semesta dalam menjaga
keseimbangan ekologis yang sudah
berabad-abad teruji oleh berbagai bencana
dan kendala serta keteledoran manusia.
Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada
etika, tetapi sampai pada norma dan
tindakan dan tingkah laku, sehingga
kearifan lokal dapat menjadi seperti religi
yang menjadi pedoman manusia dalam
bersikap dan bertindak, baik dalam konteks
kehidupan sehari-hari maupun peradaban
manusia yang lebih jauh.
Adanya gaya hidup yang konsumtif
dapat mengikis norma-norma kearifan
lokal di masyarakat. Untuk menghindari
hal tersebut, norma-norma yang sudah
berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya
turun menurun dan berhubungan erat
dengan kelestarian lingkungannya perlu
dilestarikan,yaitu kearifan lokal.
Pengertian pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan mengacu pada UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup yang berbunyi Penge-
lolaan lingkungan hidup adalah upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebi-
jaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan
hidup.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan
lokal yang sudah demikian menyatu
dengan sistem kepercayaan, norma dan
budaya dan diekspresikan di dalam tradisi
dan mitos yang dianut dalam waktu yang
cukup lama ( Sunaryo dan Laxman (2003).
Kearifan lokal atau kearifan tradisional,
yaitu semua bentuk keyakinan, pema-
haman atau wawasan serta adat kebiasaan
atau etika yang menuntun perilaku
manusia dalam kehidupan di dalam ko-
munitas ekologis.
Pengetahuan lokal ternyata bisa
menjadi salah satu solusi mengatasi
dampak perubahan iklim di sektor
pertanian terutama dalam mengatasi krisis
pangan ditingkat komunitas. Sebuah
penelitian terbaru dari International
Institute for Environment and Development
(IIED) mengungkapkan kearifan lokal
yang diajarkan turun temurun telah
menuntun masyarakat tradisional yang
terbelakang sekalipun mampu bertahan
menghadapi perubahan iklim. Praktik-
praktik tradi- disional itu disesuaikan
dengan ketinggian tempat, jenis tanah,
curah hujan dan sebagainya yang
kesemuanya mendukung keberlanjutan
lingkungan.
Ungkapan tradisional merupakan
kearifan lokal yang dimiliki setiap suku
bangsa dan sangat erat kaitannya dengan
karakter dan nilai-nilai yang berkembang
dalam suku bangsa tersebut. Beragamnya
ungkapan tradisional merupakan hasil dari
beragamnya kehidupan dan pengalaman
setiap suku bangsa. Dalam perjalanan
kehidupan setiap suku bangsa, banyak hal
yang ditemukan dan dijadikan nilai-nilai
dalam berkehidupan.
Dalam perkembangannya, ungkapan
tradisional berkembang sesuai perkem-
bangan zaman atau globalisasi. Adanya
arus globalisasi bisa menjadi positif atau
negatif, tergantung sudut pandang dan cara
kita menilai dan mempertahankan kearifan
lokal tersebut. Dalam ungkapan tradisional
banyak sekali nilai-nilai yang baik, dan
bisa dijadikan falsafah hidup. Seharusnya
nilai-nilai ini tetap dipertahankan di tengah
perkembangan globalisasi. Hal ini menjadi
permasalahan, bagaimana kita mentrans
Kearifan Lokal Orang Sunda Dalam Ungkapan..... (Aam Masduki) 297
formasikan dan mengaplikasikan ungkapan
tradisional dalam kehidupan sehari-hari.
Agar ungkapan tradisional tetap dapat
dijaga dan diinformasikan nilai-nilai
kearifan lokalnya, untuk bertindak laku
dalam kehidupan dan berkembang sesuai
perkembangan globalisasi, sesuai dengan
karakter yang kita miliki sendiri.
B. METODE PENELITIAN
Adapun metode yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah deskriptif
dalam bentuk kualitatif. Sesuai dengan
jenis data yang diperlukan, yakni data
kualitatif, maka teknik pengumpulan
datanya pun disesuaikan dengan jenis
datanya, yaitu dengan menggunakan
teknik-teknik wawancara terbuka dan
observasi. Wawancara dilakukan dengan
tokoh adat beserta jajarannya, beberapa
orang informan, yang terdiri atas para
tokoh masyarakat dan aparat di desa, serta
beberapa orang warga masyarakat yang
memahami seluk-beluk kehidupan
masyarakat setempat.
Tujuan dari penelitian ini yaitu
mendekripsikan mengenai ungkapan
tradisional sebagai kearifan lokal dan nilai-
nilainya, untuk dapat berkembang sesuai
perkembangan globalisasi.
Manfaat dari penulisan ini yaitu untuk
memberikan informasi mengenai hu-
bungan dan keunikan ragam babasan dan
paribasa pada ungkapan tradisional di
Kampung Kuta Kabupaten Ciamis.
Penulis membatasi masalah yang akan
dibahas dalam hal ini, yaitu mengambil
ungkapan tradisional paribasa dan
babasan. Hal ini disebabkan paribasa dan
babasan intensitas pemakaiannya masih
sering digunakan dalam kehidupan sehari-
hari di Kampung Kuta.
C. HASIL DAN BAHASAN
Kampung Kuta merupakan sebuah
kampung tradisional yang masih kuat
memegang aturan para leluhurnya.
Kampung Kuta ini terletak di Desa
Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari
Kabupaten Ciamis. Kampung adat ini
dihuni masyarakat yang dilandasi kearifan
lokal, dengan memegang budaya pamali,
untuk menjaga keseimbangan alam dan
terpeliharanya tatanan hidup bermasya-
rakat.
Kampung Kuta ini terletak di
perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Namun, warga kampung menggunakan
bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari
tanpa tercampur bahasa Jawa.
Kampung yang berada di perbatasan
Jawa Barat dan Jawa Tengah ini kini sudah
mulai modern sejak listrik masuk ke
daerahnya pada tahun 1994. Kampung
Kuta pernah mendapat penghargaan dari
presiden pada tahun 2002 tentang
penyelamat lingkungan.
Ketua adat memimpin kampung,
mengurus masyarakat, mengurus adat, dan
mengatur semua yang berhubungan dengan
adat. Sedangkan untuk kuncen, hanya
mengantar ke hutan keramat. Untuk
kuncen ini, biasanya turun temurun dari
leluhurnya biasanya diturunkan kepada
anak laki-laki paling besar.
Nama Kampung Kuta mengacu pada
lokasi kampung di lembah curam sedalam
75 meter dan dikelilingi tebing dan
perbukitan. Dalam bahasa Sunda, hal itu
disebut kuta (artinya pagar tembok). Aliran
listrik sudah masuk ke Kampung Kuta,
sehingga memungkinkan warganya
menikmati peralatan elektronik, seperti
televisi, radio, dan telepon seluler. Namun,
warga Kampung Kuta masih
mempertahankan bentuk rumah tradisional
khas Sunda.
Masyarakatnya sampai saat ini masih
memegang teguh melestarikan adat
leluhurnya (karuhun), amanat leluhurnya
yang masih dipertahankan antara lain :
a. Rumah panggung yang harus beratap
rumbia atau injuk (tidak boleh
permanen). Dalam membangun rumah atau
tempat tinggalnya masyarakat Kampung
Kuta berpegang teguh pada pepatah atau
amanah leluhurnya yaitu “Ulah rek di-
kubur hirup-hirup, ulah ngabangun istana
jadi astana” dalam bahasa sunda yang
artinya, Jangan mau dikubur hidup-hidup,
298 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 295 - 310
jangan membangun istana (rumah) yang
menjadi astana (kuburan). Jika kita artikan
berdasarkan fenomena yang terjadi saat ini
yaitu gempa bumi yang melanda
Tasikmalaya beberapa waktu lalu, pepatah
tersebut menuntun khususnya masyarakat
kampung Kuta umumnya kepada kita
semua untuk membangun rumah yang
ramah akan gempa, ketaatan tersebut
membuahkan ketika peristiwa gempa bumi
tersebut terjadi maka tak ada satu pun
bangunan atau rumah Kampung Kuta yang
rusak karena spesifikasi rumah kampung
adat memang merupakan rumah yang
ramah akan tahan gempa, sekalipun hancur
maka dampaknya tidak akan begitu parah
jika menimpa penghuninya disebabkan
atap rumah tersebut dibangun dengan
rumbia atau injuk.
Masyarakat Kampung Kuta
memiliki kepercayaan dan adat yang
berkaitan dengan hutan keramat. Hutan
keramat dianggap oleh masyarakat sebagai
tempat yang suci atau sakral sehingga
masyarakat Kampung Kuta
memberlakukan berbagai aturan adat untuk
melindungi hutan keramat tersebut yaitu :
- Tidak boleh mengambil hasil hutan
seperti kayu, buah-buahan, hewan, dan
lain sebagainya yang berada di dalam
hutan keramat.
- Tidak boleh memakai pakaian serba
hitam, dan pakaian seragam dinas atau
seragam pemerintah.
- Tidak boleh meludah, buang sampah,
buang air besar atau kecil yang dapat
mengotori hutan.
- Tidak boleh berkata tidak sopan atau
istilah sundanya “sompral” di hutan
keramat.
- Tidak boleh memakai alas kaki seperti
sandal dan sepatu.
Selain itu mereka juga mem-
pertahankan tempat-tempat keramat (tabet-
tabet) yaitu Leuweung Gede, Gunung
Wayang, Pandan Domas, Gunung Barang,
Cikasihan, Gunung Goong, dan
Panyipuhan.
Melakukan Upacara Adat setiap
tahunnya yaitu :
1. Nyuguh, diselenggarakan setiap bulan
Mulud, yang bertujuan untuk
memperingati Maulid Nabi Besar
Muhammad SAW, dan sebagai
ungkapan rasa syukur atas rezeki dan
terhindar dari malapetaka.
2. Hajat Bumi, diselenggarakan setiap
Kalimangsa kapat atau pada masa
panen, tujuannya adalah ungkapan rasa
syukur atas keberhasilan masyarakat
Kampung Kuta dalam bercocok tanam,
sekaligus memohon perlindungan
untuk masa cocok tanam yang akan
datang, biasnya diselenggarakan pada
bulan September sampai November
atau hari-hari yang dianggap baik.
3. Babarit, diselenggarakan setiap ada
kejadian alam seperti lini (gempa
bumi) dan kejadian alam lainnya
4. Upacara mendirikan rumah
atau ngadegkeun dan mendiami rumah
baru setelah mendapatkan hari baik.
d. Penduduk yang meninggal harus
dimakamkan di luar Kampung Kuta. Hal
ini disebabkan amanah dari leluhurnya
untuk menjaga kesucian tanah Kampung
Kuta, berkaitan dengan kesucian tanah
Kampung Kuta mereka juga tidak
boleh membangun tempat MCK
(mandi cuci kakus) mereka memilih
untuk pergi kesungai jika hendak
buang air dan sebagainya.
e. Masyarakat memiliki Leuit atau
penyimpanan gabah atau padi hasil
panen. Jika terjadi rawan pangan atau
paceklik, ini mengartikan bahwa
Kampung Kuta memiliki jiwa sosial
yang tinggi dan memiliki keinginan
untuk menabung.
f. Memelihara dan melestarikan pohon
aren sebagai sumber mata pencaharian
utama masyarakat Dusun Kuta membuat
gula aren.
g. Dilarang membuat sumur atau sumur
bor, hal ini karena dapat merusak tanah
dan merusak jalur air yang ada di dalam
tanah, dalam mencukupi kebutuhan airnya
mereka mengandalkan sumber mata air
salah satunya dari mata air Ciasihan.
Kearifan Lokal Orang Sunda Dalam Ungkapan..... (Aam Masduki) 299
Eksistensi peradaban sebuah bangsa,
tentunya tidak terlepas dari masa lalu.
Sebab masa kini terbentuk karena
peradaban masa lalu yang sudah menjadi
milik sejarah. Masa sekarang pun akan
membentuk peradaban masa datang.
Artinya masa lalu merupakan sebuah
pelajaran yang harus dipelajari, masa
sekarang harus kita jalani sebaik mungkin,
dan masa depan merupakan penerapan
hasil pembelajaran dari masa lalu dan masa
sekarang. Tentunya masa lalu itu me-
ninggalkan banyak kearifan lokal (local
genius). Salah satunya kearifan lokal yang
dimiliki oleh mayarakat Kampung Kuta.
Kearifan lokal tersebut tersebar dalam adat
istiadat, tradisi lisan, seni tradisi, naskah-
naskah tua, dan bentuk-bentuk kebudayaan
lain yang mencerminkan peradaban masa
lalu. Nilai-nilai kearifan lokal kiranya
dapat dimanfaatkan sebagai sumbang nilai
terhadap kehidupan masa sekarang dan
masa yang akan datang. Menurut pendapat
Ayat Rohaedi (1986:40) mengatakan
bahwa kearifan lokal (local genius) atau
wujud cerlang budaya mampu bertahan,
memiliki kemampuan mengakomodasi
budaya-budaya baru yang menyerbu,
mampu berintegrasi dengan kebudayaan
baru atau budaya luar, mam-
pu mengendalikan budaya yang ada, serta
menyumbangkan nilai untuk arah
kebudayaan yang akan datang.
Orang Sunda memiliki filosofi hi-
dup silih asah, silih asih, silih asuh.
filosofi ini, kalau ditafsirkan kepada teori
Benjamin S. Bloom dalam buku-
nya Taxonomy of Education of Objectives,
Cognitive Domain (1959), dapat diseja-
jarkan dengan ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor. Sebab silih asah itu orientasi
nilainya kepada peningkatan kualitas
berpikir, mengasah kemampuan untuk
mempertajam pikiran dengan tempaan
ilmu dan pengalaman. Seperti tercermin
dalam ungkapan “peso mintul mun terus
diasah tangtu bakal seukeut” artinya pisau
tumpul kalau terus diasah akan tajam juga;
atau “cikarakak ninggang batu laun-laun
jadi legok” artinya air tempias menimpa
batu lama-lama batunya akan berlubang.
Dengan kata lain, sebodoh-bodohnya
orang kalau terus ditempa, suatu saat akan
ada bekasnya dari hasil pembelajaran itu.
Makna silih asih, orientasi nilainya kepada
makna tingkah laku atau sikap individu
yang memiliki rasa belas kasihan,
tenggang rasa, simpati terhadap kehidupan
sekelilingnya atau memiliki rasa sosial
yang tinggi. Tercermin dalam ungkapan
“ka cai kudu saleuwi ka darat kudu
selebak” artinya adalah kebersamaan.
“Ulah pagiri-giri calik, ulah pagirang-
girang tampian” artinya jangan ada
permusuhan di antara manusia. Sebab
manusia itu harus “sareundeuk saigel,
sabobot sapihanean, sabata sarimbagan,
artinya harus memiliki jiwa kebersamaan,
gotong royong atau saling menolong.
Makna silih asuh, orientasi nilainya
adalah kasih sayang dalam tindakan yang
nyata, sikap pragmatik seseorang.
eksistensi diri, menerapkan potensi diri di
masyarakat. Kepada yang lebih tua harus
lebih hormat, kepada sesama harus saling
menjaga, kepada yang lebih muda harus
mampu mengayomi dan memberi contoh
yang baik. Seperti tercermin dalam
ungkapan “kudu landung kandungan
kedah laer aisan” artinya hidup harus
mengayomi orang lain selain mengoyomi
diri sendiri. “Hirup ulah manggih
tungtung, paeh ulah manggih beja”
artinya selamanya dikenang dalam
kebaikan dan kalau meninggal tidak
meninggalkan sifat buruk.
Dalam pendidikan karakter menurut
pendapat Khan (2010: 14) bahwa pen-
didikan karakter merupakan pendidikan
yang tidak saja membimbing, dan mem-
bina setiap anak didik untuk memiliki
kompetensi intelektual, kompetensi
keterampilan mekanik, tetapi juga harus
terfokus kepada pencapaian pembangunan
dan perkembangan karakter. Jadi, manusia
terdidik harus memiliki kompetensi
intelektual atau silih asah, harus memiliki
kompetensi keterampilan mekanik atau
silih asuh, dan mampu mencapai
300 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 295 - 310
pembangunan dan perkembangan karakter
atau silih asih.
Kesadaran akan nilai-nilai lama untuk
menjadi pegangan hidup yang akan datang
sebenarnya bagian dari pembentukan
karakter manusia. Sebab menurut pendapat
Aziz (2011: 128) yang membentuk
manusia menjadi paripurna atau insan
kamil adalah agama dan lingkungan hidup
yang mempengaruhi hidupnya. Agama
tentunya hubungan manusia dengan
penciptanya atau hubungan vertikal.
Lingkungan adalah hubungan horizontal,
hubungan manusia dengan manusia atau
ada interaksi sosial. Manusia Sunda tentu
saja mengenal hal itu, dalam satu sisi harus
memiliki keterikatan kepada Yang Di Atas,
dan satu sisi harus menjadi pelaku di
buana panca tengah (dunia) untuk
mengemban azas tri tangtu di buana (resi,
rama, dan ratu), dan hubungannya harus
harmonis. Keharmonisan tersebut ter-
cermin dari pragmatisme hidup orang
Sunda, yaitu karakter religius, karakter
personal, etos kerja, ketertiban hukum,
kepemimpinan, dan bidang pendidikan
atau pengasuhan.
Karakter manusia Sunda yang
diharapkan sebagai manusia yang memiliki
kepribadian, memiliki sikap, memiliki
karisma, dan memiliki jiwa kepedulian
sosial, yaitu (1) kudu hade gogog hade
tagog, yaitu memiliki penampilan yang
meyakinkan, optimistik, dan karismatik;
(2) nyaur kudu diukur, nyabda kudu
diungang, artinya harus menjaga ucapan,
tindakan atau perbuatan agar tidak
menyakiti orang; (3) batok bulu eusi madu,
artinya yaitu harus memiliki otak atau
kecerdasan yang baik; (4) ulah bengkung
bekas nyalahan, yaitu jangan salah berbuat
karena hasilnya akan sia-sia atau hasilnya
tidak akan baik; (5) ulah elmu ajug, artinya
jangan menasihati orang tetapi dirinya
sendiri butuh nasihat orang lain atau
jangan mengajak orang lain berbuat baik
sendirinya saja tidak baik; (6) sacangreud
pageuh sagolek pangkek, artinya hidup
harus memiliki prinsip; (7) ulah gindi pikir
belang bayah, artinya jangan berbuat jahat,
memiliki pikiran jelek pada orang, atau
dengki kepada orang; (8) kudu leuleus
jeujeur liat tali,yaitu hidup itu harus kuat,
menanggung beban sebarat apa pun jangan
menyerah.
Manusia Sunda pun dituntut memiliki
katakter menjadi manusia pekerja, manusia
mandiri, manusia yang memiliki etos kerja.
Filosofis manusia Sunda sebagai manusia
pekerja di antaranya: (1) mun teu ngoprek
moal nyapek, mun teu ngakal moal
ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih,
artinya kalau mau makan atau mau
mempertahankan hidup maka bekerjalah;
(2) tungkul ka jukut tanggah ka sadapan,
artinya ialah kerjakan apa yang mesti
dikerjakan, jangan terganggu oleh hal-hal
lain yang mengganggu perkerjaan utama
dan harus rendah hati jika telah
mendapatkan kesuksesan; (3) ulah kumeok
memeh dipacok, artinya jangan pernah
menyerah sebelum melakukan pekerjaan,
harus tetap optimis; (4) ulah kurung
batokkeun, artinya manusia harus banyak
bergaul agar banyak teman dan menambah
pengalaman; (5) kudu bisa ka bala ka bale,
artinya manusia itu harus berusaha untuk
memiliki banyak pengetahuan dan kete-
rampilan, mau bekerja apa saja asal halal,
jangan memilih-milih pekerjaan yang
akhirnya malah menganggur; (6) ulah
muragkeun duwegan ti luhur, yaitu jangan
mengerjakan sesuatu yang hasilnya malah
gagal atau sia-sia; (7) ulah cacag
nangkaeun, yaitu jangan mengerjakan
sesuatu setangah-setengah sebab hasilnya
tidak akan memuaskan, malah menjadi
berantakan; (8) ulah puraga tanpa kateda,
yaitu jangan mengerjakan sesuatu asal jadi
saja, pada akhirnya orang yang me-
ngerjakan kitu merasa kecewa akan hasil
kerja kita; (9) ulah ngarawu ku siku,
jangan menerima semua pekerjaan,
serakah, semua tawaran diambil, sebab
pada akhirnya akan sia-sia bahkan tidak
akan berbuah; (10) hejo tihang, yaitu
jangan pindah-pindah tempat kerja;
(11) muru julang ngaleupaskeun peusing,
jangan tergiur dengan iming-iming yang
belum tentu menghasilkan, lebih baik
Kearifan Lokal Orang Sunda Dalam Ungkapan..... (Aam Masduki) 301
tekuni yang sedang digarap tetapi hasilnya
sudah menjanjikan.
Masalah keadilan harus tertanam juga
dalam manusia Sunda. Leluhur Sunda
sudah memberikan filosofis tentang
keadilan, tujuannya agar manusia Sunda
memiliki jiwa adil dan beradab, seperti
yang tercermin dalam: (1) ulah cueut ka nu
hideung ulah ponteng ka nu koneng, yaitu
katakan salah bila salah, katakan benar
kalau memang benar, jangan berpihak
kepada yang salah; (2) kudu nyanghulu ka
hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka
balarea, yaitu aturan harus bersumber
kepada hukum, harus berbakti benar ke
negara, dan kebenaran itu harus menurut
orang banyak (rakyat); (3) kudu puguh
bule hideungna, yaitu perkara itu harus
jelas aturannya bila ingin mengambil
tindakan; (4) bobot pangayon timbang
taraju, artinya menimbang kesalahan harus
dengan aturan yang jelas seusuai dengan
kesalahan yang diperbuatnya; (5) nu lain
kudu dilainkeun, nu enya kudu dienyakeun,
nu ulah kudu diulahkeun; artinya harus
berkata jujur jangan melarang-larang
sesuatu yang tidak sesuai dengan
kebenaran.
Ungkapan tradisional merupakan
bagian dari khasanah folklor. Menurut
Danandjaja (1984: 17) folklor perlu
dipelajari sebab folklor mengungkapkan
baik secara sadar maupun tidak, bagaimana
folk pendukungnya itu berpikir. Selain itu
folklor juga mengabadikan apa-apa yang
dirasakan penting (dalam suatu masa) oleh
folk pendukungnya.
Menurut Budi Rahayu Tamsyah, et al
dalam b menjelaskan ungkapan tradisional
di Sunda salahsatunya adalah Babasan dan
Paribasa. Babasan adalah segala ucapan
yang sudah tetap dan jelas aturan
pemakaiannya. Sedangkan yang disebut
dengan paribasa adalah perbandingan yang
menjadi perlambang kehidupan, dibuat
dalam satu runtuyan kata dan sudah tetap
aturan bahasanya.
Babasan dan Paribasa merupakan
ungkapan tradisional atau idiom suku
Sunda. Isi dari babasan dan paribasa
merupakan nilai-nilai dan kearifan lokal
orang Sunda pada umumnya. Dalam
babasan dan paribasa banyak sekali
kearifan lokal yang terkandung di da-
lamnya. Kearifan lokal tersebut menjadi
karakter atau falsafah orang Sunda pada
umumnya. Nilai dan kearifan lokal ini
yang harus tetap dijaga dan dijadikan
falsafah hidup orang Sunda, sebagai
bentuk wujud nilai yang terkandung dalam
babasan dan paribasa.
Babasan dan paribasa mempunyai
aturan yang sudah tetap atau sering disebut
bahasa pakeman, sehingga babasan dan
paribasa tidak bisa berubah atau pun
diubah. Hal ini berdasarkan bahwa babasan
dan paribasa memiliki aturan tetap.Yang
dimaksudkan agar nilai-nilai dari babasan
dan paribasa tetap terjaga.
Menurut Warnaen (1987:8) pandangan
hidup orang Sunda dapat dikategorikan
menjadi lima, yaitu: (1) pandangan hidup
tentang manusia sebagai pribadi, (2)
pandangan hidup tentang manusia dengan
lingkungan masyarakat, (3) pandangan
hidup tentang manusia dengan alam, (4)
pandangan hidup tentang manusia dengan
Tuhan, (5) pandangan hidup tentang
manusia dalam mengejar kemajuan lahi-
riyah dan kepuasan batin. Kelima pan-
dangan itu kalau dihayati dan digali tidak
mungkin akan terjadi konflik, baik yang
disebabkan oleh perbedaan agama, suku,
bahasa, ras, warna kulit, maupun
perbedaan status sosial yang lainnya.
Pandangan Hidup tentang Manusia sebagai
Pribadi
Banyak ungkapan tradisional yang me-
ngandung kearifan lokal yang isinya meru-
pakan pandangan hidup tentang manusia
sebagai pribadi. Ungkapan tradisional itu
sebagai berikut:
1) Kudu hade gogog hade tagog.
Makna yang terkandung dalam
ungkapan tradisional tersebut yaitu,
harus baik budi bahasa dan baik
tingkah laku. Maksud dari ungkapan
tersebut bahwa kita dalam bergaul
dengan orang lain senantiasa harus
302 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 295 - 310
memperlihatkan perangai dan tingkah
laku yang baik. Apabila bersikap
seperti itu, kita akan dengan mudah
bergaul dengan orang lain. Orang lain
akan menyenangi kita. Dengan siapa
saja kita bergaul tidak akan
menemukan masalah. Sangat tidak
mungkin akan terjadi konflik, karena
antara budi bahasa yang digunakan
dengan tingkah laku sejalan.
2) Nyaur kudu diukur, nyabda kudu
diungang (berkata harus diukur,
bersabda harus ditimbang).Makna
yang terkandung dalam ungkapan
tersebut yaitu, segala perkataan harus
dipertimbangkan sebelum
diucapkan.Senantiasa kita harus
mampu mengendalikan diri dalam
berkata-kata. Konflik yang terjadi di
Indonesia pada awalnya dari hal yang
sepele. Biasanya dari ucapan yang
menyakitkan. Ucapan itu keluar karena
tidak diper-timbangkan terlebih
dahulu. Akibatnya pihak yang lain
merasa sakit hati, maka terjadilah
konflik. Oleh karena itu kita harus
hati-hati dengan ucapan. Kaitan
dengan hal ini dalam etnis Melayu kita
sudah diperingatkan dengan ungkapan
lidah lebih tajam daripada pedang. Ini
menunjukkan bahwa pengaruh dari
ucapan kita yang menyakitkan orang
lain lebih dahsat daripada sekedar
pedang. Luka karena pedang dengan
mudah bisa diobati, tapi luka hati
karena ucapan akan sulit untuk
diobatinya.
3) Batok bulu eusi madu.
Artinya, diluarnya buruk di dalamnya
bagus. Misalnya tampaknya miskin
dan bodoh, tetapi kaya atau pandai.
4) Ulah bengkung bekas nyalahan.
Artinya, tingkah laku harus tetap baik
dan benar, jangan menyimpang.
5) Ulah elmu ajug. Artinya, orang yang
hanya dapat menasehati orang lain
agar berbuat baik, tetapi dia sendiri
berbuat keburukan.
6) Henteu gedag bulu salambar.
Artinya, tidak merasa gentar
sedikitpun menghadapi musuh.
7) Sacangreud pageuh sagolek pangkek
Artinya, teguh memegang pendirian,
tidak pernah melanggar janji.
8) Indung suku oge moal dibejaan.
Artinya, harus teguh menyimpan
rahasia, apalagi rahasia negara.
9) Ulah gindi pikir belang bayah.
Artinya, jangan buruk hati, jangan
punya pikiran buruk terhadap sesama.
10) Hambur bacot murah congcot.
Artinya, banyak cakap, cerewet dan
sering memarahi tetapi suka memberi
makanan.
11) Kudu boga pikir rangkepan.
Artinya, harus punya curiga tidak
mudah percaya kepada orang lain.
Pandangan Hidup Manusia dengan
Lingkungan Masyarakat
Kearifan lokal yang merupakan
pandangan hidup manusia dengan
lingkungan masyarakat yang akan penulis
analisis sebagai berikut.
1) Kudu silih asih, silih asah, jeung silih
asuh (Harus saling mengasih, saling
mengasah, dan saling mengasuh).
Makna yang terkandung dalam
ungkapan tradisional tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
Silih asih, bahwa kita hidup dengan
sesama harus saling mengasihi. Kita
harus menolong orang yang
membutuhkan pertolongan kita. Hal ini
sesuai dengan ungkapan dalam budaya
Sunda kudu nulung ka nu butuh, nalang
ka nu susah. Sepanjang kita mampu,
apa pun bentuk pertolongan kita apabila
ada orang yang membutuhkan, maka
kita dengan didasari rasa cinta siap
untuk menolongnya. Pertolongan yang
kita berikan semata-mata karena ingin
membantu, lilahitaala tidak didasari
karena ingin diberi imbalan.
Silih asah, artinya saling
memberi pengalaman dan pengetahuan,
kekurangan seseorang ditambah oleh
orang lain, kesalahan seseorang
Kearifan Lokal Orang Sunda Dalam Ungkapan..... (Aam Masduki) 303
diperbaiki oleh sesama anggota
masyarakatnya (Lubis, 2001).
Dalam konteks ini kita harus
saling membelajarkan, harus saling
mengisi dengan ilmu pengetahuan,
sehingga kita semua menjadi manusia
yang memiliki pengetahuan yang luas.
Oleh karena itu kita jangan kikir dengan
ilmu yang kita miliki. Ilmu yang kita
miliki harus senantiasa diamalkan
kepada orang lain yang membutuhkan.
Berdiskusi, bertukar pikiran, dialog, dan
kritik yang konstruktif pada hakikatnya
merupakan implementasi dari silih
asah.
Silih asuh, artinya kita harus
saling menjaga, melindungi,
memperhatikan, mengarahkan, dan
membimbing ke arah kebaikan. Dengan
demikian terjalin suasana damai, saling
menghormati, dan penuh rasa
kekeluargaan. Ungkapan silih asih, silih
asah, dan silih asuh sekarang sudah
menjadi ungkapan nasional. Ini terbukti
dengan seringnya para pejabat negara
mulai dari presiden sampai pejabat di
bawahnya dalam berpidato atau
memberikan pengarahan
menyampaikan ungkapan tersebut. Hal
ini bisa dimaklumi karena konsep silih
asih, silih asah, silih asuh merupakan
konsep tradisional yang penting dalam
membina hubungan antar masyarakat,
sekaligus mencegah terjadinya konflik.
2) Kawas gula jeung peueut (Seperti gula
dengan nira yang matang). Gula dan
peueut tidak bisa dipisahkan. Gula yang
dimaksud di sini yaitu gula merah dari
pohon aren. Sebelum menjadi gula yang
bisa dicetak namanya peueut (gula yang
masih muda). Baik gula maupun peueut
sama-sama rasanya manis. Jadi, makna
dari ungkapan tersebut yaitu hidup
rukun, damai, saling menyayangi, tak
pernah berselisih.
Gula dan peueut tidak bisa
dipisahkan, karena gula berasal dari
peueut. Begitupun masyarakat
Indonesia idealnya harus seperti peueut
dan gula. Selamanya bersatu tidak
terjadi perpecahan walaupun hidup
dalam keberagaman.
Tentang Manusia dengan Alam Pandangan
Hidup
Kearifan masyarakat Sunda yang
merupakan pandangan hidup tentang
manusia dengan alam menurut (Warnaen,
1987:20), yaitu: (1) Manuk hiber ku
jangjangna, (2) Jalma hirup ku akalna, (3)
Jawadah tutung biritna sacarana-
sacarana, dan(4) Leutik ringkang gede
bugang.
1) Manuk hiber ku jangjangna jalma
hirup ku akalna (Burung terbang
dengan sayapnya, manusia hidup
dengan akalnya). Makna yang
terkandung dalam ungkapan tersebut,
yaitu setiap makhluk masing-masing
telah diberi cara atau alat untuk
melangsungkan kehidupannya. Oleh
kare-na itu, jangan coba-coba kita
merusak alam, karena akan merusak
ekosistem yang sudah dibangun secara
alami. Akibat dari
ekosistem yang rusak, keseimbangan
alam menjadi tidak stabil. Dari alam
yang tidak stabil, akan menimbulkan
bencana di mana-mana. Bencana alam
yang terjadi selama ini di Indonesia,
tidak menutup kemungkinan karena
ekosistem alam ini sudah rusak sebagai
akibat ulah manusia. Akibat dari
bencana alam itu bisa saja akan
menimbulkan konflik, karena
kehidupan masyarakat tidak menentu
dan penuh kepanikan.
2) Jawadah tutung biritna sacarana-
sacarana. Ungkapan ini maknanya
sama dengan ungkapan ciri sabumi
cara sadesa, yaitu setiap bangsa
memiliki cara dan kebiasaan masing-
masing. Oleh karena itu, kita harus
menghargai dan menghormati cara dan
kebiasaan orang lain walaupun cara dan
kebiasaan itu berbeda dengan kita. Di
dalam budaya Melayu ada ungkapan “di
mana bumi dipijak disitu langit
dijunjung”. Makna yang terkandung
304 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 295 - 310
dalam ungkapan tersebut yaitu apabila
kita berada di suatu daerah tertentu,
maka kita harus mengikuti adat istiadat
atau budaya daerah tersebut. Dengan
demikian, selamanya kita akan hidup
damai walaupun hidup dalam
keberagaman budaya, agama, suku
bangsa, warna kulit, bahasa, dan lain-
lain.
3). Leutik ringkang gede bugang.
Artinya, manusia itu meskipun kecil
badannya, kalau meninggal dalam
perjalanan, besar urusannya tidak
seperti binatang.
Pandangan Hidup tentang Manusia dengan
Tuhan
Sedikitnya ada enam ungkapan
tradisional yang mengandung kearifan
sebagai pandangan hidup tentang manusia
dengan Tuhan (Warnaen,1987:20). Dari
keenam itu hanya dua yang akan penulis
analisis, yaitu mulih ka jati mulang ka
asal, dan dihin pinasti anyar pinanggih.
1) Mulih ka jati mulang ka asal (Kembali
ke sejati pulang ke asal). Konsep
dalam ungkapan ini sama dengan apa
yang terdapat dalam ajaran Islam,
yaitu bahwa manusia diciptakan oleh
Tuhan pada akhirnya akan kembali
kepada Tuhan. Oleh karena itu, kita
senantiasa me- nyiapkan diri untuk
bekal nanti di alam yang kekal. Orang
yang mengetahui ungkapan itu, tidak
mungkin untuk membuat permusuhan
di dunia ini. Justru dia akan membuat
kedamaian dengan menjalin
silaturahmi dengan siapa pun tanpa
melihat perbedaan yang dimilikinya.
Dia menganggap, bahwa secara sosial
semua manusia yang ada di muka
bumi ini saudara.
2) Dihin pinasti anyar pinanggih (Sejak
dahulu ditentukan baru sekarang
dijumpai). Maksud dari ungkapan ini
yaitu, segala sesuatu yang dialami
sekarang sesungguhnya sudah ada
yang menentukan terlebih dahulu.
Segala sesuatu yang terjadi semata-
mata kehendak Tuhan. Namun, bukan
berarti kita harus diam tanpa usaha.
Justru ungkapan ini secara inplisit
menyuruh kepada kita untuk
berikhtiar.
Bukan berarti ketika konflik terjadi
lalu kita menyerah dengan alasan
bahwa ini sudah kehendak Tuhan,
tanpa ada ikhtiar bagaimana supaya
tidak terjadi konflik. Justru Tuhan
menyuruh kepada kita bagaimana
caranya supaya tidak terjadi konflik.
3) Nimu luang tina burang.
Artinya, mendapat pengalaman atau
pengetahuan pada waktu mendapat
kecelakaan.
4) Buaya mangap batang liwat.
Artinya, memperoleh sesuatu yang
sangat diharapkan dengan tak terduga
sebelumnya.
Pandangan Hidup tentang Manusia dalam
Mengejar Kemajuan Lahiriah dan Kepuasan
Batin
Dalam mengejar kemajuan lahiriah
hendaknya kita mengacu pada ungkapan
dalam budaya Sunda sebagai berikut.
1) Ulah ngukur baju sasereg awak.
Artinya, jangan mempertimbangkan
sesuatu hanya dari segi kepentingan
pribadi.
2) Ulah pupulur memeh mantun.
Artinya, jangan meminta upah sebelum
bekerja.
3) Ulah kumeok memeh dipacok.
Artinya, kalau menghadapi pekerjaan
janganlah sebelum apa-apa sudah
merasa berat.
4) Mending waleh batan leweh.
Artinya, lebih baik berterus terang dari
pada terus menanggung kedukaan.
5) Mending kendor ngagembol,
tinimbang gancang pincang. Artinya,
lebih baik lambat tetapi dengan banyak
hasilnya daripada cepat dengan sedikit
hasil.
6) Asa mobok manggih gorowong.
Artinya, orang yang sedang mencari
Kearifan Lokal Orang Sunda Dalam Ungkapan..... (Aam Masduki) 305
jalan, lalu mendapat pula pertolongan
sehingga merasa senang.
7) Ulah puraga tamba kadenda.
Artinya, dalam mengerjakan suatu
pekerjaan jangan asal dikerjakan saja,
tetapi harus dengan sungguh-sungguh
sehingga hasilnya memuaskan.
8) Batan, kapok anggur gawok.
Artinya, dari pada berhenti
melakukan pekerjaan yang tidak baik,
malah makin menjadi-jadi.
9) Ulah gasik nampi gancang narima.
Artinya, jangan terburu-buru
menerima sesuatu, hendaknya
dipikirkan dulu baik buruknya.
10) Kudu bisa lolondokan. Artinya,
pandai menyesuaikan diri.
11) Ulah pagiri-giri calik, pagirang-
girang tampian. Makna dari
ungkapan ini yaitu: Untuk
mendapatkan keuntungan atau
kekuasaan jangan saling berebutan
tanpa mengindahkan kepentingan
bersama. Kekuasaan atau jabatan
yang diperoleh dengan cara-cara yang
kurang baik, pada akhirnya akan
berujung dengan kekacauan atau
konflik. Konflik akan terjadi antara
pejabat berikut pendukungnya dengan
orang berikut pendukungnya yang
seharusnya menempati jabatan
tersebut. Selain itu, jabatan yang
diperoleh dengan cara-cara kurang
baik biasanya tidak memperhatikan
keahlian atau profe-sionalisme orang
yang akan menempati jabatan
tersebut. Yang penting dia punya
banyak uang dan kekuatan. Akibatnya
dia tidak mampu melaksanakan tugas
dengan baik. Dalam situasi seperti ini,
lama-kelamaan negara Indonesia akan
hancur.
Begitupun dalam mendapatkan keun-
tungan yang lainnya harus diperoleh
dengan cara yang sesuai dengan norma-
norma yang berlaku, jangan merugikan
orang lain. Oleh karena itu, untuk
memperoleh jabatan hendaknya
menempuh mekanisme atau norma-norma
yang sudah disepakti bersama. Semua
pihak harus konsisten atau berpegang
teguh kepada norma-norma yang sudah
disepakati bersama itu.
Seperti yang tertuang dalam
ungkapan, Kudu paheuyeuk-heuyeuk
leungeun (Harus saling berpegangan
tangan). Manusia merupakan makhluk
sosial. Satu sama lain saling
membutuhkan. Oleh karena itu kita sebagai
manusia harus tolong-menolong. Tolong-
menolong merupakan awal dari terciptanya
kedamaian. Budaya tolong-menolong di
masyarakat perkotaan dewasa ini sudah
berkurang. Hal ini karena kehidupan di
perkotaan sudah bersifat individualistis.
Kepedulian kepada sesama sudah
berkurang. Tentu saja kalau ini tidak cepat
ditanggulangi merupakan sebuah ancaman
akan terjadinya perpecahan. Caranya
dengan kembali memahami ungkapan
tradisional yang mengandung kearifan
lokal. Upaya riilnya, yaitu menciptakan
suasana kekeluargaan dengan sesama.
Umpamanya melalui kegiatan pengajian
bersama, arisan warga, jalan-jalan
bersama, dan lain-lain.
Sebaliknya dengan di kota, suasana
tolong-menolong di desa sampai hari ini
masih kelihatan. Upamanya apabila ada
tetangga membangun rumah, keluarga
yang lainnya sibuk mengirim makanan
untuk sekadar mengurangi beban
tetangganya yang sedang membangun itu.
Begitu pun dalam mengerjakan
bangunannya, banyak anggota masyarakat
yang lainnya ikut membantu tanpa dibayar.
Namun suasana yang penuh dengan
gotong-royong itu tidak menutup
kemungkinan akan hilang seperti di kota,
apabila masyarakat di desa tidak
memahami makna yang terkandung dalam
ungkapan tradisional tersebut.
Kaitannya dengan manusia dalam
mengejar kepuasan batiniah, di dalam
budaya Sunda ada ungkapan sebagai
berikut.
1) Tiis ceuli herang mata (Sejuk
pendengaran, bening
penglihatan).Ungkapan ini
menghendaki agar dalam kehidupan
306 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 295 - 310
ini situasinya tenang, damai,
tentram, dan tidak mendengar atau
melihat sesuatu yang jelek atau
kacau. Suasana ini hanya bisa
terwujud apabila di antara
masyarakat tidak ada konflik.
Jadi, pesan dari ungkapan tersebut
yaitu kita jangan berkonflik apa pun
alasannya. Konflik itu akan
membuat situasi tidak tenang, tidak
damai, dan tidak tentram. Kalau
situasinya seperti itu mana mungkin
negara kita bisa membangun. Kita
akan cape menyelesaikan konflik.
Waktu akan habis digunakan untuk
memulihkan keadaan. Seperti
halnya ketika kita menyelesaikan
konflik di Aceh.
2) Kudu bisa mihapekeun maneh
(Harus dapat menitipkan diri).
Sebagai manusia harus berperilaku
baik. Dengan demikian banyak
orang yang menyu-kainya. Di
manapun dia berada walaupun
berbeda agama, suku, budaya, dan
lain-lain, kalau perilakunya baik,
maka dia akan selamat dan akan
mudah bersosialisasi.
Sebagaimana telah diuraikan di
muka bahwa konflik yang besar itu
awalnya disebabkan oleh masalah
kecil, perselisihan antarindividu. Ini
semua akibat dari salah satu atau
kedua-duanya tidak berperilaku baik
atau tidak bisa menitipkan diri.
Apabila kita ingin hidup tentram,
damai, dan disayangi oleh orang
lain, maka kita harus bisa
menitipkan diri. Kita berada di
tempat atau lingkungan baru harus
pandai-pandai menitipkan diri,
jangan membuat orang lain jengkel
melihat perilaku kita.
Menurut Budi Rahayu Tamsyah, et al
dalam buku 1.000 babasan jeung paribasa
membagi babasan dan paribasa dalam tiga
golongan, yaitu :
1. Paribasa Wawaran Luang
Paribasa wawaran luang menjelaskan
mengenai pengalaman yang sudah lumrah
di masyarakat, serta merupakan bahan
perbandingan tingkah laku manusia.
Contohnya:
1) Adat kakurung ku iga
Adat atau kebiasaan yang sulit untuk
diubah. Dari paribasa ini kita bisa
melihat bahwa terkadang kebiasaan
manusia sulit diubah.
2) Mihapé hayam ka heulang
Makna dari ungkapan tersebut adalah
menitipkan barang atau sesuatu kepada
seseorang yang tidak jujur atau
membahayakan. Maksud dari paribasa
ini adalah untuk menjelaskan bahwa
kita harus berhati-hati menitipkan
sesuatu hal kepada orang yang belum
kita ketahui.
2. Paribasa Pangjurung Laku Hadé
Paribasa pangjurung laku hadé
merupakan paribasa yang isinya
mendorong untuk berprilaku baik. Adapun
contoh dari paribasa ini adalah :
1) Cikaracak ninggang batu laun-laun
jadi legok
Apabila sesuatu dilakukan dengan
sungguh-sungguh, meskipun sulit pasti
bisa dilakukan. Paribasa ini
mengajarkan kita sesulit apa pun suatu
hal apabila kita lakukan sungguh-
sungguh pasti bisa dilakukan.
2) Ka hareup ngala sajeujeuh, ka tukang
ngala sajeungkal
Makna dari ungkapan tersebut adalah
hidup harus berhati-hati dan penuh
dengan perhitungan. Dari paribasa ini
mengajar-kan bahwa kita hidup jangan
terlalu terburu-buru dalam bertindak,
tetapi kita harus berhati-hati dan penuh
perhitungan.
3. Paribasa Panyaram Lampah Salah
Paribasa panyaram lampah salah.
menjelaskan mengenai larangan-larangan
untuk tidak melakukan hal-hal yang salah
atau membuat celaka. Adapun contoh dari
paribasa ini adalah sebagai berikut :
1) Ulah pupulur méméh mantun
Jangan meminta upah sebelum kita
bekerja.
2) Ulah meungpeun carang ku ayakan
Kearifan Lokal Orang Sunda Dalam Ungkapan..... (Aam Masduki) 307
3) Artinya jangan berpura-pura tidak
tahu, membiarkan seseorang
melakukan hal atau tindakan yang
salah.
4) Ulah cul dogdog tinggal igel
Artinya jangan meninggalkan
pekerjaan tetap, untuk pekerjaan yang
tidak jelas penghasilannya.
Babasan dan paribasa dalam perkembangan
Globalisasi
Globalisasi adalah suatu proses
dimana anta individu, antarkelompok, dan
antar negara saling berinteraksi,
bergantung, terkait, dan memengaruhi satu
sama lain yang melintasi batas negara.
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai
banyak karakteristik yang sama
dengan internasionalisasi sehingga kedua
istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian
pihak sering menggunakan istilah
globalisasi yang dikaitkan dengan
berkurangnya peran negara atau batas-
batas negara.
Globalisasi juga bisa menimbulkan
dampak positif dan negatif. Positif dan
negatifnya suatu hal dalam globalisasi
tergantung pada setiap sudut pandang dan
kebudayaan tiap-tiap negara. Hal ini bisa
kita lihat dalam fenomena-fenomena
globalisasi yang memengaruhi kebu-
dayaan di negara kita. Salah satu dampak
dari fenomena globalisasi itu bisa kita lihat
melalui sudut pandang Babasan dan
Paribasa. Contoh dampak fenomena
globalisasi, yaitu :
Kemajuan Teknologi
Kemajuan teknologi merupakan
fenomena globalisasi yang bisa berdampak
positif ataupun negatif. Hal ini tidak bisa
kita cegah, karena kemajuan tekhnologi
setidaknya dibutuhkan dan akan selalu
berkembang sesuai zaman. Dampak positif
dari kemajuan tekhnologi, kita bisa lebih
mudah untuk berkomunikasi dan
berhubungan sosial antarnegara. Sementara
dampak negatif dari kemajuan teknologi
ini sendiri, banyaknya orang yang
menyalahgunakan kemajuan teknologi
untuk memeroleh informasi-informasi
yang salah.
Adapun babasan dan paribasa
orang Sunda yang sesuai dengan konteks
kemajuan teknologi yaitu :
1) Kudu bisa miindung ka waktu, mibapa
ka jaman. Artinya kita harus bisa
mengikuti perkembangan jaman.
Dengan paribasa ini setidaknya kita
bisa lebih positif menggunakan
tekhnologi sesuai dengan aturan dan
perkembangan jaman.
2) Bengkung ngariung,bongkok
ngaronjok.
Artinya sekalipun hidup susah, yang
terpenting hidup berkumpul bersama
keluarga. Paribasa ini sudah jarang
digunakan lagi di tengah
perkembangan tekhnologi pada zaman
sekarang. Banyak orang Sunda yang
belajar jauh ke luar negeri, akibat
informasi dari teknologi. Kemajuan
teknologi bisa menjadi positif apabila
kita tetap berpegang teguh pada adat
ketimuran kita, seperti tetap berpegang
teguh pada paribasa atau babasan.Tapi
kita juga harus lebih pintar memilih
ungkapan dari paribasa yang sesuai
dan positif terhadap perkembangan
globalisasi.
Timbulnya rasa bebas dan
keterbukaan dalam setiap tindakan, hal ini
bisa menjadi dampak positif, contohnya
kebebasan dan terbuka dalam
mengemukakan pendapat. Dengan adanya
kebebasan dan keter- bukaan dalam
berpendapat kita bisa lebih mudah
mengemukakan pendapat kita kepada
khalayak umum.
Sedangkan dampak negatif dari
kebebasan contohnya: budaya seks bebas,
hedonisme, dan lain-lain. Hal ini sangat
berlawanan dengan adat ketimuran kita.
Adapun paribasa dan babasan yang sesuai
dengan fenomena ini adalah:
1). Abong biwir teu diwengku
Artinya orang yang bicaranya tidak
diatur atau asal bicara. Ini biasanya
digunakan untuk sindiran kepada
orang yang dalam berpendapatnya