Apa itu Tradisi Ngikis?
Ngikis merupakan upacara adat tradisi di Situs Budaya yang digelar setahun sekali menjelang Ramadhan. Tradisi Ngikis ini biasa dilakukan di dua lokasi yakni di Situs Budaya Ciung Wanara Karangkamulyan dan Situs Budaya Singaperbangsa Cisaga.
Menjelang datangnya bulan suci Ramadan, beberapa daerah di Indonesia biasanya melakukan sejumlah penyambutan melalui berbagai tradisinya yang khas. Salah satu daerah yang masih eksis dengan budaya tersebut adalah Kabupaten Ciamis.
Sebagai wilayah yang memiliki nilai kearifan lokal yang kuat, Kabupaten Ciamis terus berupaya menghidupkan tradisi turun temurunnya melalui ‘Ngikis’. Tradisi tersebut biasa diselenggarakan saat menyambut bulan puasa.
Tradisi ‘Ngikis’ diketahui memiliki filosofi yang kuat. Terutama menyangkut kesiapan diri untuk mensucikan hati dan jiwa dari kalangan warga yang masih menjunjung nilai warisan leluhur dari masyarakat Sunda Ciamis.
“Ngikis secara harfiah berarti memagar. Pada masa lalu Ngikis lebih bersifat fisik yakni mengganti pagar singgasana Raja di situs Pangcalikan. Warga dari berbagai dusun datang sembari membawa bambu untuk digunakan memagari singgasana raja, yang rutin dilaksanakan setiap satu tahun sekali menjelang bulan suci Ramadan” seperti yang dilansir dalam tulisan Sarip Hidayatuloh di Jurnal Universitas Galuh Ciamis, Rabu (07/04).
©2021 Kanal Youtube Ciamis Nenjo/editorial Merdeka.com
Sebagaimana diungkapkan oleh Sarip, makna dari tradisi ngikis adalah membentengi diri dari hawa nafsu yang bisa mengganggu kekhusyukan dalam beribadah.
Makna penggantian pagar di situs leluhur Galuh (Ciamis), Cijeungjing, Kabupaten Ciamis juga disimbolkan sebagai bentuk membersihkan diri. Sehingga bisa terhindar dari sifat-sifat tercela yang tidak dianjurkan dalam berpuasa.
“Ngikis juga dimaknai sebagai sarana untuk memagari dan membersihkan diri dari perilaku buruk dan hawa nafsu jahat, sehingga ketika masuk bulan Ramadan diri dalam keadaan bersih (suci) dan dapat terhindar dari sifat-sifat tercela. Di mana inti dari puasa adalah memagari hawa nafsu, baik nafsu lahir (makan, minum) maupun batin.” jelas Sarip dalam tulisannya.
Percampuran Antara Islam dengan Hindu
Adapun tradisi 'Ngikis' sendiri termasuk tradisi yang berkembang dari hasil percampuran antara budaya Hindu dengan Islam. Namun dalam tulisannya, Sarip menegaskan jika tradisi 'Ngikis' sudah ada sejak tahun 1800-an di mana ketika itu masyarakat setempat berupaya melakukan penghormatan terhadap nenek moyang mereka sebelum agama Islam masuk.
Sejak itu, timbul kesadaran dari masyarakat di wilayah Ciamis Jawa Barat untuk tetap menghormati leluhurnya sebagai upaya berlaku baik (menjunjung para pendahulu).
“Diharapkan dengan dilaksanakannya Ngikis ini masyarakat akan lebih menghargai sejarah dan selalu ingat terhadap jasa-jasa para leluhur Galuh” ungkap Sarip.
Pelaksanaan Tradisi Ngikis
©2021 Kanal Youtube Ciamis Nenjo/editorial Merdeka.com
Dalam pelaksanaannya sendiri, tradisi 'Ngikis' akan diawali dengan penyambutan tamu kehormatan yang dilakukan oleh Ki Lengser (tokoh adat pemimpin upacara).
Tamu kehormatan tersebut di antaranya tokoh kabuyutan, tokoh agama, pemerintah daerah, kepala desa bahkan hingga civitas akademik, termasuk bupati.
Kemudian para tokoh tersebut dihantar untuk menyaksikan kegiatan bubuka yang dilakukan di pelataran situs Karangkamulyan. Setelah itu dilanjutkan dengan acara inti di dalam Situs Karangkamulyan yaitu di Situs Pangcalikan atau Singgasana Raja untuk mengulas kembali napak tilas para sesepuh Sunda Galuh.
“Tradisi tersebut juga dilakukan tabur bunga di atas Batu Pancalikan (batu yang akan dipagar), kemudian setiap orang yang melakukan penaburan bunga diawali dengan membaca doa terlebih dahulu dengan tujuan untuk mendapat rida dan keberkahan dari Allah SWT.” jelasnya.