Wilujeung Sumping di Blog GeegleHayoO

Renungan Ciamis yang Ditinggalkan Banjar dan Pangandaran Tersayang

4 min read

"Kesejahteraan masyarakat masih terlalu jauh, kalau kita terus-terusan seperti itu, kapan majunya Pangandaran. Makanya salah satu jalan, daerah ini harus dimekarkan, berpisah dari Kabupaten Ciamis, Jawa Barat," itulah aspirasi yang kini bergulir di tengah masyarakat setempat.

Pergerakan masyarakat yang ingin menggapai kesejahteraan lebih baik, dengan bekal potensi pariwisata, alam dan ekonomi di wilayah Ciamis selatan, mengharapkan dibentuknya otonomi daerah baru Kabupaten Pangandaran.

Asa yang kuat, menyatukan visi misi sejumlah tokoh masyarakat Pangandaran, menyempatkan waktu mereka berkumpul di rumah milik Supratman di Kampung Gembor, Desa Cikemulan, Kecamatan Pangandaran, pada awal Februari 2007.

Pertemuan itu tampaknya semakin memantapkan tekad mereka untuk berpisah dari Ciamis, dan membangun Kabupaten Pangandaran.

Selanjutnya, sejumlah tokoh masyarakat Pangandaran kembali melakukan pertemuan yang lebih serius di Hotel Mustika Ratu, Kecamatan Pangandaran, 24 Februari 2007.

Pertemuan itu ternyata mendatangkan sejumlah tokoh masyarakat lebih banyak, di antaranya Supratman, Adang Hadari, Yos Rosby, Sonny Agustiana, Andis Sose, Tudi Hermanto, Ino Darsono, dan Ikin Sodikin.

Mereka menyepakati dibentuknya presidium pembentukan Kabupaten Pangandaran sebagai wadah untuk berjuang berusaha mewujudkan keinginan berpisah dari Kabupaten Ciamis.

Salah seorang dari tokoh masyarakat Pangandaran yakni Supratman disepakati bersama sebagai Ketua Presidium dan sekretarisnya Soni Agustian serta masyarakat lainnya masuk dalam kepengurusan struktural presidium.

Mereka akhirnya mendeklarasikan keinginan untuk berpisah dari Kabupaten Ciamis.

Deklarasi digelar di jalan baru lapangan Desa Pananjung, Kecamatan Pangandaran, 17 Juli 2007, dihadiri massa berjumlah kurang lebih 20 ribu orang dari 10 kecamatan yang ada di wilayah Ciamis Selatan.

Masyarakat dari 10 kecamatan yang menyatakan ikut bergabung ke Kabupaten Pangandaran yakni Kecamatan Pangandaran, Padaherang, Mangunjaya, Kalipucang, Parigi, Cijulang, Sidamulih, Cimerak, Cigugur, dan Rangkaplancar. Penduduk dari 10 kecamatan dengan 92 desa itu berkisar 450 ribu jiwa.

"Massa yang hadir dalam deklarasi itu sepakat Kabupaten Pangandaran harus terwujud," kata Sekjen Presidium pembentukan Kabupaten Pangandaran, Andi Sose.

Setelah dilakukan deklarasi pembentukan Kabupaten Pangandaran, presidium mulai bergerak melakukan upaya mengajukan keinginan berpisah kepada Pemerintah Kabupaten Ciamis.

Meskipun sempat tidak disetujui oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis, tetapi presidium terus berusaha dengan melakukan lobi politik termasuk lobi dengan elite partai politik.

Hasilnya, keinginan berpisah dari Kabupaten Ciamis dan membentuk Kabupaten Pangandaran disetujui oleh Bupati Ciamis, Enkon Komara, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Ciamis.

Upaya selanjutnya, pada awal tahun 2008, presidium melakukan konsultasi dengan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung untuk mengetahui kelayakan pemekaran wilayah di Ciamis.

Hasil kajian yang dilakukan Unpad secara akademis, ternyata Pangandaran tidak layak menjadi daerah otonomi baru, karena dari faktor ekonomi belum siap.

Ternyata hasil kajian Unpad itu terjadi kesalahan, karena data yang digunakan Unpad merupakan data tahun 2006, setelah peristiwa bencana alam tsunami melanda Pangandaran.

"Ya jelas tidak layak, karena yang namanya orang setelah terkena bencana, jangankan memikirkan ekonomi, yang ada hanya berduka dan berjuang untuk bangkit lagi," kata Andi.

Kemudian, Unpad melakukan kajian kembali dengan data yang digunakan tahun 2008, dan merekomendasikan bahwa Kabupaten Pangandaran layak dimekarkan dari Kabupaten Ciamis.

Mendapatkan rekomendasi layak menjadi daerah otonomi baru, selanjutnya presidium berkonsultasi dengan Pemerintah Kota Banjar yang sudah berhasil berpisah dari Kabupaten Ciamis.

Mereka pun berkonsultasi dengan masyarakat Kabupaten Bandung Barat (KBB), yang telah pula berhasil membentuk kabupaten baru dari induknya, Kabupaten Bandung.

Perjuangan yang dilakukan presidium itu terus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Provinsi dan DPRD Jawa Barat, hingga perkembangan terakir mendapatkan persetujuan dari fraksi-fraksi di DPR RI, 4 April 2012.

Selanjutnya DPR RI menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) daerah otonomi Pangandaran dalam sidang paripurna yang digelar di Jakarta, Kamis 12 April 2012, kemudian menunggu putusan dan diresmikan oleh Pemerintah Pusat.

Perkembangan yang cukup baik itu merupakan bagian dari hasil perjuangan masyarakat Ciamis selatan yang ingin membangun Kabupaten Pangandaran menjadi daerah yang maju dan makmur dengan potensi yang diunggulkan, yakni Pariwisata.

"Kalau terbentuk Kabupaten Pangandaran saya kira pembangunan akan seirama, tapi kalau Pangandaran tidak mekar, siapa pun bupatinya pembangunan tidak akan merata," kata Andi.

Tak akan susah

Kara pangandaran terdiri atas dua kata, yakni pangan dan daran, artinya makanan dan daratan, yang diartikan tidak akan susah mencari makan di wilayah Pangandaran.

Itulah salah satu cerita munculnya nama Pangandaran dengan segudang potensi pariwisata alam laut yang menjadi favorit warga Jawa Barat, bahkan sejumlah wisatawan asing di belahan dunia untuk berwisata ke daerah itu.

"Siapa pun orang yang datang ke Pangandaran, tidak akan kelaparan. Saya buktinya orang Bugis," kata Andi Sose, salah seorang perantau yang sudah bertahun-tahun menjalani hidup bersama keluarganya di Pangandaran.

Pernyataan yang disampaikan Andi Sose dapat menjadi salah satu contoh bahwa Pangandaran mampu memberikan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan hidup ekonomi masyarakatnya.

Berbagai potensi ekonominya antara lain ikan laut yang cukup melimpah, dan bahkan sudah diekspor ke beberapa negara.

Selain itu, potensi pertanian dan perkebunan seperti tanaman pohon Kelapa yang diolah menjadi gula kelapa telah mampu menyerap uang dari hasil penjualan sebesar Rp1,2 miliar per bulan.

Kemudian perputaran uang di objek wisata Pantai Pangandaran pada hari libur pun mampu mencapai ratusan miliar rupiah.

Sejumlah potensi ekonomi itu telah menjadi jaminan hidup bagi masyarakat Pangandaran yang mau berusaha keras untuk menggapai kesejahteraan hidup.

"Tidak akan susah, mungkin karena Pangandaran adalah daerah wisata," kata Andi yang aktif dalam organisasi Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Ciamis.

Warga pendatang lainnya, Andriansyah (30), mengungkapkan optimisme yang sama.

"Pangandaran telah memberikan sejuta kemanjaan bagi manusia. Berbagai potensi alam sudah tersajikan untuk dikelola oleh manusia menjadi mata pencaharian," katanya.

Namun potensi yang sudah ada itu, menurut Andri, belum didukung sepenuhnya oleh sumber daya manusia dan belum maksimalnya pemerintah daerah memberdayakan masyarakat.

"Apabila didukung dengan sumber daya manusia yang lebih berkualitas, berwawasan ilmu dan pengetahuan, serta kreatif dengan memiliki jiwa berwirausaha, menurut Andri, maka Pangandaran akan memberikan ruang kemakmuran bagi masyarakatnya," kata Andri, warga Bogor yang sudah tinggal di Pangandaran sejak tujuh tahun lalu.

MESKI TANPA PANGANDARAN DAN BANJAR, CIAMIS MASIH TETAP BISA MENJADI LUMBUNG PADI DI JAWABARAT

Meski tanpa Pangandaran, Kabupaten Ciamis masih menjadi lumbung padi Jawa Barat. Ciamis masih punya Kecamatan Lakbok dan Purwadadi sebagai penghasil padi terbesar di Kabupaten Ciamis.

Menurut Bupati Ciamis Iing Syam Arifien, Ciamis masih menjadi lumbung padi, setidaknya masih menghasilkan 446.000 ton. “Itu kelebihan konsumsi Ciamis. Makanya Ciamis selalu menjadi daerah andalan dalam rangka menghadapi ketahanan pangan,” kata Iing.

Untuk mempertahankan status sebagai lumbung padi Jabar, lanjutnya, salah satunya melalui kegiatan Hari Krida Pertanian. Ini sebagai bentuk dorongan Pemkab Ciamis untuk Petani

“Pemkab sangat ikut mendorong para petani dengan memberikan perhatian yang luar biasa besar. Karena kami ingin agar petani sejahtera dan bermanfaat bagi masyarakat,” harapnya.

GOOD BYE PANGANDARAN

OLEH KABAYAN, OTONG, DAN ITEUNG.

Kang Otong mampir di rumah Kabayan. Sodara jauh Kabayan itu selama ini tinggal di Ciamis jadi petani kelapa dan pengrajin minyak kelapa berikut produk turunannya; galendo yang harganya lebih menguntungkan ketimbang minyak atau bahkan buah kelapanya sendiri. Galendo Ciamis yang terkenal manis banyak dibuat sebagai oleh-oleh, baik dimakan langsung, dibuat bahan makanan kue, atau dipakai bumbu masakan. Kang Otong sendiri tak lupa membawa oleh-oleh khas itu saat berkunjung ke rumah Kabayan. Sayangnya dari empat gebleg galendo yang dibawa Kang Otong, tiga diantaranya langsung diangkut si Abah ke rumahnya...

Tapi Kang Otong membawa cerita lain yang lebih menarik ketimbang kisah galendo itu; yakni –lagi-lagi-- pemekaran wilayah Kabupaten Ciamis, kabupaten paling selatan dan timur (tenggara) Jawa Barat itu. Setelah lima tahunan lalu Kota Banjar lepas menjadi wilayah otonom sendiri, sekarang giliran wilayah selatan Kabupaten Ciamis yang melepaskan diri –bahasa politiknya pemekaran, yakni Kabupaten Pangandaran.

“Sekarang Pangandaran sudah gudbay... jadi kabupaten sendiri..” buka Kang Otong. Menurutnya, tanggal 25 Oktober besok, Undang-Undang pembentukan Kabupaten Pangandaran akan diresmikan bersama dengan beberapa daerah baru, yakni Provinsi Kalimantan Utara, Kabupaten Manokwari Selatan dan Kabupaten Pegunungan Arfak di Papua Barat, juga Kabupaten Pesisir Barat di Lampung. “Kalau Pangandaran lepas dari Ciamis, nggak tau apa yang bisa diandalkan dan dibanggakan lagi dari Ciamis. Dulu kita masih bisa bangga dengan Pantai Pangandaran dan juga pantai lain di sekitarnya, ditambah lagi dengan wisata Cukang Taneuh alias grin kenyon (green canyon) yang jadi primadona Ciamis...” sambung Kang Otong.

“Memangnya sudah resmi Kang? Daerah mana saja yang ikut Pangandaran?” tanya Kabayan. “Ya resmi, tinggal ketok palu. Wilayahnya ya bagian selatan Ciamis dulu, ada Kecamatan Pangandaran, Langkaplancar, Cigugur, Cimerak, Parigi, Cijulang, Mangunjaya, Kalipucang, Sidamulih, terus Padaherang...” jawab Kang Otong.

“Memangnya kenapa kalau Pangandaran jadi kabupaten sendiri? Bukannya bagus, supaya daerahnya berkembang?” tanya Kabayan lagi. “Ya bagi Pangandaran itu bagus, pembangunan di wilayahnya bakalan meningkat, apalagi selama ini, kata orang sana, pembangunan Ciamis bagian selatan kurang diperhatikan, padahal wilayah selatan itu menyumbang peade (PAD) yang besar, terutama dari pariwisata. Kalau mereka berdiri sendiri, mereka bisa jadi kabupaten yang maju dengan mengelola pariwisatanya yang selama ini jadi andalan Ciamis...” jawab Kang Otong.

“ Ke, Kang Otong kok kayaknya nggak rido kalau Pangandaran lepas dari Ciamis?” selidik Kabayan. Kang Otong nyengir pahit, “Bukannya nggak rido Yan, tapi selama ini andalan Ciamis itu ya cuma Pangandaran dan wisata lain di wilayah selatan. Kalau pisah, di sektor wisata saja paling hanya tinggal Astana Gede Kawali, Karang Kamulyan, Situ Panjalu, yang semuanya belum banyak sumbangannya. Ditinggal Banjar jadi kota sendiri saja orang Ciamis sudah pada sirik, soalnya pembangunan di Banjar jauh lebih maju, jalannya mulus, sementara di Ciamis, jalan kotanya saja banyak yang ancur, apalagi ke luar kota, kayak ke Salakaria, kampung saya, waah ancur pisan jalannya, padahal cuma 12 kilo dari kota. Apalagi yang jauh kayak di selatan itu, pantes saja kalo mereka minta cerai!” jawab Kang Otong.

“Jadi masalahnya apa kalau Pangandaran pisah dari Ciamis?” tanya Kabayan lagi. “Ya masalahnya banyak, punya Pangandaran saja Ciamis nggak maju-maju, apalagi tanpa Pangandaran. Lihat saja nanti, pemekaran itu bakal membuat Pangandaran maju seperti Banjar, sementara Ciamis makin susah, nggak punya andalan apa-apa lagi...” kata Kang Otong lagi.

Tapi Pangandaran, Banjar, dan Ciamis pernah bersama-sama meraih 3 Medali

“Kan masih ada penghasilan lain, pertanian misalnya, peternakan?” tanya Kabayan. “Pertanian apa? Perhatian pemerintahnya kurang. Di Ciamis itu kelapa banyak, tapi harga sebutir kelapa paling tinggi 500 perak, lainnya nggak ada yang bisa diandalkan, paling perikanan darat sama ternak ayam... itu juga kurang diperhatikan, jalanan butut begitu pas ngangkut ayam keburu mati di jalan. Banyak buah juga, tapi yang untung banyak makelar, bukan petaninya....” jawab Kang Otong dengan nada masih sewot. “Pembangunan sarana di Ciamis mah nggak keliatan hasilnya, jadi petani juga susah majunya...”

“Memangnya nggak punya dana pembangunan?” tanya Kabayan lagi. “Nggak tau atuh pada kemana. Kalau buat pilkada tahun depan saja katanya anggarannya nyampe 50 milyar lebih, tapi buat benerin jalan harus nunggu bertahun-tahun. Bingung saya mah ...” kata Kang Otong lagi. “Beda pisan sama tetangga kayak Tasik dan Banjar yang sudah maju dan berkembang...” sambungnya.

“Jadi beneran sirik nih Pangandaran lepas dari Ciamis?” pancing Kabayan. Kang Otong nyengir lagi sambil garuk-garuk kepala, “Bukan soal sirik atau enggak Yan. Tapi saya mah bingung dengan kebijakan pemekaran teh, banyak kasus wilayah yang dimekarkan, baik induk maupun yang baru sama-sama sengsara. Tuh liat Lebak atau Pandeglang yang sekarang ikut Banten, semangat misah dari Jawa Barat, buktinya tetep nggak maju karena pembangunannya tetep saja di utara, sekitar Tangerang sampe ke Serang dan Cilegon. Jadi menurut saya mah untuk menjawab persoalan ketertinggalan pembangunan kalau ada teh bukan selalu dengan pemekaran, tapi dengan pemerataan dan terutama pengelolaan yang baik. Percuma saja kabupaten dipecah jadi tiga atau seratus, kalau pemerintahannya tetep nggak beres. Yang ada malah nambahin ongkos administrasi pemerintahan, gaji bupati, gaji anggota dewan, gaji pegawai, biaya pilkada...”

“Jadi bukan sirik nih?” tanya Kabayan lagi. Kang Otong langsung sewot, “Bukan Yan, sumpah. Tapi saya galau mikir nasib kabupaten saya nantinya, Ciamis, mau jadi kaya apa nantinya...” jawabnya. “Berarti sirik dong, takut yang lain lebih maju!” goda Kabayan. Kang Otong cengengesan, “Yaah mungkin juga sih...” jawab Kang Otong.

Lagi asyik ngobrol, Nyi Iteung datang membawa suguhan minum, “Ngomongin apa ini teh, serius banget?” tanya Iteung. “Ini Teung, Pangandaran mau jadi kabupaten sendiri...” jawab Kang Otong. Iteung melirik, “Oooh, misah kabupaten.. biarin aja atuh misah kabupaten mah, asal jangan misah negara. Kalau misah negara baru repot, mau berenang di Pangandaran harus ngurus pisa (visa) sama pasword (paspor) dulu...” katanya.

Kabayan dan Kang Otong saling melirik, hehe... bener juga kata si Iteung... "Ya kalau begitu mah

selamat buat warga Pangandaran, semoga perpisahan ini membawa berkah bagi semuanya, baik yang meninggalkan maupun yang ditinggalkan..." kata Kang Otong. Kabayan melirik, "Komentarnya kayak orang cerai beneran nih Kang..." kata Kabayan. Kang Otong nyengir.

Sejarah Kerajaan Galuh

Lihat juga

Kerajaan Galuh adalah suatu kerajaan Sunda di pulau Jawa, yang wilayahnya terletak antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai

Ci Serayu juga Cipamali (Kali Brebes) di sebelah timur. Kerajaan ini adalah penerus dari kerajaan Kendan , bawahan Tarumanagara .[4][5][6]

Kerajaan Hindu-Buddha

Salakanagara (130-362)

Kutai (abad ke-4)

Tarumanagara (358–669)

Kendan (536–612)

Galuh (612-1528)

Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)

Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)

Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)

Kanjuruhan (abad ke-8)

Kerajaan Medang (752–1006)

Kerajaan Kahuripan (1006–1045)

Kerajaan Sunda (932–1579)

Kediri (1045–1221)

Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)

Singhasari (1222–1292)

Majapahit (1293–1500)

Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)

Kerajaan Islam

Penyebaran Islam (1200–1600)

Kesultanan Samudera Pasai (1267–1521)

Kesultanan Ternate (1257–sekarang)

Kerajaan Pagaruyung (1500–1825)

Kesultanan Malaka (1400–1511)

Kerajaan Inderapura (1500–1792)

Kesultanan Demak (1475–1548)

Kesultanan Kalinyamat (1527–1599)

Kesultanan Aceh (1496–1903)

Kesultanan Banjar (1520–1860)

Kesultanan Banten (1527–1813)

Kesultanan Cirebon (1430–1666)

Kerajaan Tayan (Abad Ke-15-sekarang)

Kesultanan Mataram (1588–1681)

Kesultanan Palembang (1659–1823)

Kesultanan Siak (1723–1945)

Kesultanan Pelalawan (1725–1946)

Kesultanan Pontianak (1771–sekarang)

Kerajaan Kristen

Kerajaan Larantuka (1600–1904)

Kolonialisme bangsa Eropa

Portugis (1512–1850)

VOC (1602–1800)

Belanda (1800–1942)

Kemunculan Indonesia

Kebangkitan Nasional (1899–1942)

Pendudukan Jepang (1942–1945)

Revolusi nasional (1945–1950)

Republik Indonesia

Orde Lama (1950–1959)

Demokrasi Terpimpin (1959–1965)

Masa Transisi (1965–1966)

Orde Baru (1966–1998)

Era Reformasi (1998–sekarang)

Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, cerita mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun. [7]

Saat Linggawarman, raja Tarumanagara yang berkuasa dari tahun 666 meninggal dunia pada tahun 669 , kekuasaan Tarumanagara jatuh ke Sri Maharaja Tarusbawa , menantunya dari Sundapura, salah satu wilayah di bawah Tarumanagara. Karena Tarusbawa memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak Galuh, dipimpin oleh Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612 ), memilih untuk berdiri sebagai kerajaan mandiri. Adapun untuk berbagi wilayah, Galuh dan Sunda sepakat menjadikan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Kerajaan kembar

Wretikandayun mempunyai tiga anak lelaki: Rahiyang Sempakwaja (menjadi resiguru di Galunggung ), Rahiyang Kidul (jadi resi di Denuh), dan Rahiyang Mandiminyak. Setelah menguasai Galuh selama sembilan puluh tahun (612 - 702 ), Wretikandayun diganti oleh Rahiyang Mandiminyak, putra bungsunya, sebab kedua kakaknya menjadi resiguru.[8]

Dari Nay Pwahaci Rababu, Sempakwaja mempunyai dua anak: Demunawan dan Purbasora. Akibat tergoda oleh kecantikan iparnya, Mandiminyak sampai terseret ke perbuatan nista, sampai melahirkan Sena (atau Sang Salah). Sedangkan dari istrinya, Dewi Parwati, putra dari Ratu Sima dan Raja Kartikeyasingha, Mandiminyak mempunyai putra perempuan yang bernama Sannaha. Sannaha dan Sena lantas menikah, dan mempunyai putra yang bernama Rakryan Jambri (atau disebut Sanjaya).

Kakuasaan Galuh yang diwariskan pada Mandiminyak (702- 709 ), kemudian diteruskan oleh Sena. Karena merasa punya hak mahkota dari Sempakwaja, Demunawan dan Purbasora merebut kekuasaan Galuh dari Sena (tahun 716 ). Akibat terusir, Sena dan keluarganya lantas mengungsi ke Marapi di sebelah timur, dan menikah dengan Dewi Citrakirana, putra dari Sang Resi Padmahariwangsa, raja

Indraprahasta.[9]

Raja-raja Galuh

Raja-raja yang pernah berkuasa di Galuh:

1. Wretikandayun (Rahiyangta ri Menir, 612-702)

2. Mandiminyak atau Prabu

Suraghana (702-709)

3. Sanna atau Séna/Sannaha (709-716)

4. Purbasora (716-723)

5. Rakeyan Jambri/ Sanjaya, Rakai Mataram /Harisdarma (723-732); Galuh bersatu dengan Sunda

6. Tamperan Barmawijaya (732-739)

7. Sang Manarah (739-746)

8. Rakeyan ri Medang (746-753)

9. Rakeyan Diwus (753-777)

10. Rakeyan Wuwus (777-849)

11. Sang Hujung Carian (849-852)

12. Rakeyan Gendang (852-875)

13. Dewa Sanghiyang (875-882)

14. Prabu Sanghiyang (882-893)

15. Prabu Ditiya Maharaja (893-900)

16. Sang Lumahing Winduraja (900-923)

17. Sang Lumahing Kreta (923-1015)

18. Sang Lumahing Winduraja (1015-1033)

19. Rakeyan Darmasiksa (1033-1183)

20. Sang Lumahing Taman (1183-1189)

21. Sang Lumahing Tanjung (1189-1197)

22. Sang Lumahing Kikis (1197-1219)

23. Sang Lumahing Kiding (1219-1229)

24. Aki Kolot (1229-1239)

25. Prabu Maharaja (1239-1246)

26. Prabu Bunisora (1357-1371)

27. Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475)

28. Dewa Niskala (1475-1483)

29. Ningratwangi (1483-1502)

30. Jayaningrat (1502-1528)

31. maharaja cipta sanghyang di galuh ( 1528-1595 )

Atau menurut Naskah Wangsakerta daftar lengkap raja-raja yang bertahta di Kerajaan Galuh antara lain:

Sang Wretikandayun (534-592) Saka (S)/ (612/3-670/1) M (Masehi) sebagai Raja Galuh.

Sang Mandiminyak/ Suraghana (624-631) Saka/ (702/3-709/10) M.

Sang Senna atau Sanna,

631-638 Saka/ (709/10-716/7) M.

Sang Purbasura (638-645) Saka/ (716/7-723/4) M.

Sang Sanjaya, Rakai Mataram (645-654) Saka/ (723/4-732/3) M, sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.

Sang Tamperan (654-661) Saka/ (732/3-739/40) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.

Sang Manarah (661-705) Saka/ (740-784), sebagai penguasa Galuh.

Sang Manisri (705-721) Saka/ (783/4-799/800) Masehi sebagai raja Galuh.

Sang Tariwulan (721-728) Saka/ (799/800-806/7) sebagai raja Galuh.

Sang Welengsa (728-735) Saka (806/7-813/4) M sebagai raja Galuh.

Prabhu Linggabhumi (735-774) Saka/ (813/4-852/3) M sebagai raja Galuh.

Danghyang Guru Wisuddha (774-842) Saka/ (852/ 3-920/1) M sebagai ratu Galuh.

Prabhu Jayadrata (843-871) S/ (921/2-949/50 M sebagai ratu Galuh.

Prabhu Harimurtti (871-888) S/ (949/50-966/7) M.

Prabhu Yuddhanagara (888-910) S/ (966/7-988/9) M sebagai ratu Galuh.

Prabhu Linggasakti (910-934) S/ (988/9-1012/3) M sebagai ratu Galuh.

Resiguru Dharmmasatyadewa (934-949) S (1012/3-1027/8) M sebagai raja Galuh.

Prabhu Arya Tunggalningrat (987-1013) S/ (1065/6-1091/2) M sebagai raja wilayah Galuh.

Resiguru Bhatara Hyang Purnawijaya (1013-1033) S/ (1091-1111) M sebagai ratu Galuh.

Bhatari Hyang Janawati (1033-1074) S/ (1111/2-1152/3) M sebagai ratu Galuh dengan ibukota Galunggung.

Prabhu Dharmmakusuma (1074-1079) S/ (1152/3-1157/8) M sebagai maharaja Galuh dan Sunda.

Prabu Guru Darmasiksa (1097-1219) S/ (1157/8-1297/8) M sebagai maharaja Galuh dan Sunda.

Rakeyan Saunggalah (1109-1219) S/ (1167/8-1297/8) M sebagai ratu Galuh, (1219-1225) S/ (1297/8-1303/4) M menjadi Maharaja Galuh dan Sunda.

Maharaja Citragandha (1225-1233) S/ (1303/4¬-1311/2) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.

Maharaja Linggadewata (1233-1255) S/ (1311/2-1333/4) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.

Maharaja Ajiguna (1255-1262) S/ (1333/4-1340/1) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.

Maharaja Ragamulya (1262-1272) S/ (1340/1¬-1350/1) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.

Maharaja Linggabhuwana (1272-1279) S/ (1350/1-1357/8 M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.

Mangkubhumi Suradhipati (1279-1293) S/ (1357/8-1371/2) M, Maharaja Galuh dan Sunda .

Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (1293-1397) S/ (1371/2¬-1475/6), penguasa Galuh dan Sunda.

Dewa Niskala atau Ningrat Kancana (1397-1404) S/ (1475/6-1482/3 M, sebagai raja Galuh.

Prabhu Ningratwangi (1404-1423) S/ (1482/3-1501/2) M, sebagai ratu Galuh mewakili kakaknya, Sri Baduga Maharaja penguasa Galuh dan Sunda.

Prabhu Jayaningrat (1423-1450) S/ (1501/2-1528/9) M Prabhu Jayaningrat bukan ratu Galuh terakhir, dan kerajaan Galuh tidak ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon namun Kawali tidak jadi pusat Kerajaan Galuh tetapi berpindah ke Galuh Salawe Pangauban di Cimaragas, Ciamis.

Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh Salawe ( 1528-1595 ) di

Cimaragas, Ciamis. Masa Kerajaan Galuh berakhir di jaman Mataram 1595 saat itulah raja raja di seluruh pulau Jawa termasuk galuh di turunkan statusnya menjadi kebupatian oleh Mataram. [10] . [11]

Prabu Cipta Permana (1595-1618) M raja Kerajaan Galuh terakhir? Dapat pula dilihat dalam Daftar Bupati Ciamis dimana Adipati Panaekan (1618 - 1625) M sebagai bupati Galuh pertama (Kerajaan Galuh jadi Kabupaten Galuh sampai tahun 1914) atau Ciamis (nama Kabupaten Ciamis sejak 1916 zaman bupati Aria Sastrawinata yang menjabat tahun 1914 - 1935). [12] . [13]

Kisah klasik Sang Manarah Baginda Maharaja Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana (Ciung Wanara)

Galuh Kawali sepeninggal Prabu Jayaningrat

Sepeninggal Prabu Jayaningrat, penguasa Galuh Kawali dalam pengaruh Cirebon:

Pangeran Dungkut (lungkut) (1528 - 1575 M) putra Lanangbuana, raja kuningan menjadi penguasa Galuh Kawali pengganti Jayaningrat.

Pangeran Bangsit (1575-1592 M) disebut juga Mas Palembang putra Pangeran Dungkrut.

Pangeran Mahadikusumah/Apun di Anjung (1592 M) putra Pangeran Bangsit.

Pangeran Usman (1643) menikahi putri Pangeran Mahadikusumah dan ia yang pertama dimakamkan di situs kawali.

Dalem Adipati Singacala (1643-1718 M) putra Adidempul Cicit pangeran Bangsit, menikahi Nyi Anjungsari putri Pangeran Usman. [14]

Sementara di wilayah Galuh lain yaitu Galuh Pangauban (Ciamis Selatan). Nama Galuh muncul lagi yang ingin menjadi Ratu Galuh yang menguasai kerajaan kecil (semacam kandaga lante) tempat Pangauban (perlindungan). Terletak antara Cipamali dan Cisanggarung lalu ke daearah aliran Sungai Citanduy. Kerajaan Galuh yang dirancang oleh Pucuk Umum (Pangauban) dibangun oleh Kamalarang dibantu oleh masyarakat Pakidulan yang tempatnya di tengah hutan berjarak dari laut sepenyirihan (kurang lebih 5 km) luasnya kurang lebih 100 depa persegi (sekitar 1,2 m). [15]

Sekelilingnya dipagar tanaman Haur Kuning yang berduri, sebelah Utara dibuat alun-alun yang luasnya 50 depa persegi, di sebelah Selatan ada tanah kosong seluas 50 deupa persegi. Bangunan keratonnya sangat sederhana tenggaranya didirikan tujuh rumah untuk para menteri dan pegawai negara yang penting. Di sekitar rumpun haur dikelilingi oleh perumahan rakyat yang setia sebanyak 100 orang ditambah oleh rakyat Bagolo serta Kamulyan Maratama, Maradua, dan Maratiga yang setia kepada Prabu Haur Kuning dalam membangun pusat Galuh Pangauban. [16]

Pada tahun 1516 M Pucuk Umum (Pangauban) karena simpati kepada Islam dan ajarannya pernah memimpin pasukan ke Malaka membantu Patih Yunus dari

Kesultanan Demak atas perintah Raden Patah. Tapi Pucuk Umum tidak mau diangkat menjadi pimpinan Islam karena alasannya harus menyerang kerajaan Pajajaran sedangkan Pajajaran itu adalah eyangnya, akhirnya Pucuk Umum dibuang ke Ujung Kulon bersama istrinya. [17]

Prabu Haur Kuning (1535 – 1580 M) putra Pucuk Umum (Pangauban). Maharaja Cipta Sanghiang (1580 – 1595 M ) putra Prabu Haur Kuning yang menjadi raja Galuh Gara Tengah dengan Gelar Maharaja Prabu Cipta Sanghyang Permana dan termasuk Raja Galuh terakhir yang beragama Hindu jasadnya dilarung di Ciputrapinggan sekarang adalah desa Putrapinggan, Kalipucang, Pangandaran . Prabu Cipta Permana (1595 – 1618 M) Ratu Galuh yang pertama masuk Islam karena menikahi Tanduran Tanjung putri Maharaja Mahadikusumah, penguasa Cirebon di Galuh Kawali.

Sebelum tahun 1596 M Cirebon belum terikat oleh Mataram bahkan daerah Ciamis Utara yang dimaksud utara Citanduy ada di bawah kekuasaan Cirebon termasuk

Panjalu, Ciamis. Pada tahun 1618 , Mataram menguasai Galuh dimulai pergantian gelar Raja yang tadinya bergelar Ratu atu Sanghyang dengan gelar Adipati yaitu bupati di bawah kekuasaan Mataram. [18]

Wilayah Galuh pada Masa Hindia Belanda

Kabupaten Galuh Ciamis, kejayaan zaman Kangjeng Prabu

Kangjeng Prabu sebagai bupati Galuh yang keenambelas ini paling ternama. Ia mempunyai ilmu yang tinggi dan merupakan bupati pertama di wilayah itu yang bisa membaca huruf latin. Memerintah dengan adil disertai dengan kecintaannya pada rakyat. Empat puluh tujuh tahun lamanya Raden Adipati Aria Kusumadiningrat memimpin Galuh Ciamis ( 1839- 1886).

Pemerintah kolonial saat itu sedang menjalankan Tanam Paksa. Sebetulnya di tatar Priangan sejak tahun 1677 sudah dilaksanakan juga apa yang disebut

Preangerstelsel atau sistem Priangan yang berkaitan dengan komoditi kopi. Sampai sekarang terabadikan dalam lagu yang berurai air mata yang bunyinya "Dengkleung dengdek, buah kopi raranggeuyan. Ingkeun saderek, ulah rek dihareureuyan" , gambaran seorang wanita yang sedih berkepanjangan karena ditinggal pujaan hati bekerja dalam tanam paksa. Dari

Preangerstelsel , di tempat lain dimekarkan menjadi Culturstelsel. Jelas di Kabupaten Galuh ini bukan cuma komoditi kopi yang dipaksa harus ditanam olah rakyat, tetapi juga nila. Proyek nila ini menimbulkan insiden Van Pabst yang menyebabkan Bupati Ibanagara dicopot dari jabatannya.

Awal Mula adanya Perkebunan Kelapa di Galuh

Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Tentu saja Kangjeng Prabu bersedih hati dan prihatin menyaksikan rakyatnya dipaksa harus menanam kopi dan nila, sementara hasilnya diambil oleh Belanda. Rakyat hanya kebagian mandi keringatnya, cuma kebagian repotnya saja, meninggalkan anak, isteri, dan keluarga, sehari-hari hanya mengurus kebun kopi dan teh. Di zaman tanam paksa kopi inilah saat kelahiran tembang sedih Dengkleung Dengdek. Tertulis dalam majalah

Mangle , almarhum Kang Pepe Syafe'i R. A. diminta berceritera saat bersantai di perkebunan Sineumbra di Bandung selatan. Saat itu administratur Mangle adalah Max Salhuteru yang penuh perhatian pada kehidupan budaya tradisional Sunda. Pepe Syafe'i didaulat untuk menceriterakan sejarah lahirnya tembang dramatis Deungkleung Dengdek oleh administratur itu.

Kangjeng prabu sendiri menangis dalam hati, tidak tega menyaksikan rakyat tersiksa oleh pemerintah kolonial. Untuk mengurangi nestapa rakyat, agar selama bekerja tanam paksa tidak sampai perasaan kehilangan kerabat itu mengharu biru setiap waktu, dilakukanlah pembangunan berupa pembuatan beberapa saluran air dan bendungan, yang sekarang disebut saluran tersier dan sekunder termasuk dam yang kokoh. Sampai kini masih ada saluran air Garawangi yang dibangun tahun

1839 , Cikatomas tahun 1842 , Tanjungmanggu yang lebih terkenal dengan sebutan Nagawiru (berarti Naga biru) dibangun tahun 1843 , dan saluran air Wangunreja tahun 1862 .

Selanjutnya bupati yang kaya akan ilmu pengetahuan dan tidak bisa tidur sebelum berbakti pada rakyat itu membuka lahan persawahan baru dan kebun kelapa di berbagai tempat. Malah untuk sosialisasi kelapa, setiap pengantin lelaki saat

seserahan diwajibkan untuk membawa tunas kelapa, yang selanjutnya harus ditanam di halaman rumah tempat mereka mengawali perjalanan bahtera rumah tangga.

Dari zaman Kangjeng prabu, perkebunan kelapa di Galuh Ciamis menjadi sangat subur, dengan produksinya yang menumpuk ( ngahunyud) di setiap pelosok kampung. Dalam waktu tak terlalu lama, Ciamis tersohor menjadi gudang kelapa paling makmur di Priangan timur. Banyak pabrik minyak kelapa didirikan oleh para pengusaha, terutama Cina. Yang paling tersohor adalah Gwan Hien, yang oleh lidah orang Galuh menjadi Guanhin. Lalu pabrik Haoe Yen dan pabrik di Pawarang yang terkenal disebut Olpado (Olvado). Olpado ini musnah tertimpa bom saat Galuh dibombadir oleh Belanda. Guanhin juga tinggal nama, demikian juga yang lainnya. Saat ini, minyak kelapa terdesak oleh minyak kelapa sawit dan minyak goreng jenis lainnya.

Pembangunan Sekolah Sunda

Raden Aria Koesoemadininggrat,

regent (bupati) Galuh (1879)

Dari tahun 1853 Kangjeng prabu tinggal di keraton Selagangga yang dibuat dari kayu Jati yang kokoh. Luas lahan tempat keraton itu berdiri adalah satu hektare, dengan kolam ikan, air mancur, dan bunga-bunga di pinggirnya. Di bagian lain dari keraton, ada kaputren, tempat para putri Bupati. Di komplek keraton juga ada masjid. Tahun 1872 di komplek keraton ini dibangun Jambansari dan pemakaman keluarga Bupati. Di sebelah timur pemakaman ada situ yang sangat dikeramatkan. Dulu tidak ada yang berani melanggarnya, orang Galuh percaya air situ itu mengandung khasiat seperti yang dituliskan oleh Kangjeng prabu dalam guguritan yang dibuatnya, " Jamban tinakdir Yang Agung, caina tamba panyakit, amal jariah kaula, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali mas pajeng kuning. " Artinya kurang lebih, "Jamban takdir dari Yang Agung, airnya penyembuh penyakit, amal jariah saya, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali mas pajeng kuning."

Menurut para menak Galuh zaman sekarang, terutama keturunan Kangjeng prabu, zaman dulu

guguritan yang disusun dalam pupuh Kinanti ini suka dinyanyikan oleh anak-anak sekolah rakyat. Selain bangunan untuk kepentingan keluarga Bupati, Kanjeng prabu juga membangun gedung-gedung pemerintahan dan sarana lainnya. Antara tahun 1859 sampai 1877 pembangunan berlangsung tanpa henti. Diawali dengan dibangunnya gedung pemerintahan kabupaten yang megah, tepatnya di gedung DPRD sekarang, menghadap utara. Lantas gedung untuk Asisten Residen, yang sekarang menjadi gedung negara atau gedung kabupaten, sekaligus tempat tinggal Bupati sekeluarga. Bangunan lainnya adalah markas militer, rumah pemasyarakatan, masjid agung, gedung kantor telepon.

Tampaknya Kangjeng prabu sama sekali tidak melupakan satu pun kepentingan masyarakat. Pendidikan diutamakan oleh Bupati yang mahir ber bahasa Perancis ini. Untuk pendidikan putera-puteranya dan kadang keluarga Bupati, sengaja dipanggil guru Belanda J.A.Uikens dan J. Blandergroen ke kantor kabupaten untuk mengajarkan membaca dan berbicara bahasa Belanda. Tahun 1862 , Kangjeng Dalem mendirikan Sekolah Sunda. Tahun 1874, Sekolah Sunda yang kedua berdiri di Kawali. Sekolah-sekolah ini merupakan sekolah pertama di Tatar Sunda.

Dalam upaya menyebarkan agama

Islam , Kangjeng prabu mempunyai cara-cara tersendiri. Terutama dalam upaya menghilangkan kepercayaan sebagian masyarakat yang masih menyimpan sesembahan berupa arca batu setinggi manusia. Kangjeng prabu sengaja suka mengadakan silaturahmi dan pengajian dengan mengajak serta masyarakat.

Dalam kumpulan seperti itulah ia mengajak rakyatnya supaya mereka setiap akan pergi ke pengajian dan perkumpulan, membawa arca yang ada di rumahnya masing-masing. "Kita satukan dengan arca kepunyaan saya," katanya. Rakyat setuju saja diminta membawa arca seperti itu dan dengan jujur mengakui bahwa di rumahnya memiliki arca. Dengan demikian, tanpa memakan waktu yang lama, sudah tidak ada lagi arca yang disimpan di rumah-rumah rakyat. Masyarakat beribadah dengan sungguh-sungguh memuji keagungan Allah. Islam mekar memancar seputaran Galuh. Sementara arca-arca yang dikumpulkan rakyat, ditumpuk begitu saja di Jambansari. Sekelilingnya ditanami pepohonan yang rimbun. Itu sebabnya sampai sekarang banyak arca di pemakaman Kangjeng prabu di Selagangga.

Kangjeng prabu merupakan Bupati pertama di Tatar Sunda yang bisa membaca aksara latin, juga mempunyai ilmu kebatinan yang tinggi. Menurut ceritera yang berkembang di masyarakat Galuh Ciamis, Kangjeng prabu juga menguasai makhluk gaib yang di Ciamis terkenal disebut onom . Tahun 1861 , jalan kereta api akan dibuka untuk melancarkan hubungan antar warga, dari Tasikmalaya ke Manonjaya, Cimaragas, Banjar, terus sampai Yogyakarta. Kangjeng prabu segera mengajukan permohonan, supaya jalan kereta api bisa melewati kota Galuh, pusat kabupaten, dan bukannya melewati Cimaragas - Manonjaya. Biaya pembuatannya memang jadi membengkak sebab perlu dibuat jembatan yang panjang di Cirahong dan Karangpucung. Tetapi akhirnya Belanda menerima permohonan itu. Walaupun stasiun yang dibangun Belanda kini sudah tua, tetapi Ciamis sampai kini dilewati jalan kereta api, di antaranya kereta api Galuh.

Tahun 1886 Kangjeng prabu lengser kaprabon , jabatannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Adipati Aria Kusumasubrata. Tapi walaupun sudah pensiun, Kangjeng prabu tidak hanya mengaso sambil ongkang-ongkang kaki di kursi goyang. Ia masih terus berbenah dan membangun Galuh Ciamis. Masih pada zamannya berkuasa, Undang-undang Agraria mulai dipakai, tepatnya tahun 1870 . Oleh sebab itu, di Galuh Ciamis banyak perkebunan swasta, di antaranya Lemah Neundeut, Bangkelung, Gunung Bitung, Panawangan, Damarcaang, dan Sindangrasa.

Tahun 1915 Kabupaten Galuh secara resmi masuk ke Karesidenan Priangan , dan sebutannya menjadi Kabupaten Ciamis. Tanggal 1 Januari 1926 Pulau Jawa dibagi menjadi tiga provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jawa Barat dibagi menjadi lima

karesidenan, 18 Kabupaten dan enam kotapraja . Ciamis selanjutnya masuk ke Karesidenan Priangan Timur.

Di lokasi keraton Selagangga, Kangjeng prabu juga membuat masjid megah. Orang yang dipercayai untuk mengurus dan menghidupkannya adalah Haji Abdul Karim. Untuk pemekaran agama Islam, Bupati Galuh memerintahkan para Kepala Desa supaya di tiap desanya didirikan masjid, selain untuk ibadah secara umum, juga untuk anak-anak dan remaja belajar mengaji dan ilmu agama. Pendeknya untuk membangun mental spiritual masyarakat. Masjid Selagangga sangat ramai dikunjungi para remaja.

Peninggalan Kangjeng prabu

Namun kini yang ada hanya tinggal makam keluarga dan Jambansari yang tinggal secuil. Situ yang dulu ada di sebelah barat telah tiada bekasnya barang sedikitpun. Padahal dulu ada dua situ, di sebelah barat dan timur. Sekarang sudah berubah menjadi perkampungan. Tanah yang dulu menjadi milik anak dan cucu

Christiaan Snouck Hurgronje, sebelah timur tapal batas dengan Jambansari, kini juga sudah menjadi perkampungan.

Pemakaman Kangjeng prabu sampai sekarang masih diurus dan dipelihara oleh Yayasan yang dipimpin oleh Toyo Djayakusuma. Sementara waktu ke belakang, sempat telantar kurang terurus karena tiadanya biaya. Jambansari hampir hilang terkubur ilalang. Maka didatangilah rumah keluarga Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia di Jakarta yang saat itu dijabat Ir.

Radinal Muchtar. Oleh keluarga itu kemudian dilakukan pembenahan dan perbaikan serta diangkat lagi martabatnya. Kebetulan isteri dari Radinal masih menak Galuh Ciamis, keturunan Kangjeng prabu. Jadi masih merasa perlu bertanggungjawab untuk memelihara pemakanam dan komplek Jambansari yang oleh rakyat Galuh sangat dimulyakan.

Ada yang sedikit menggores ke dalam rasa dari orang Galuh Ciamis, terutama yang bertempat tinggal di Jalan Selagangga, seputaran komplek pemakanan dan Jambansari, yaitu saat Jalan Selagangga diganti namanya menjadi Jalan K.H. Ahmad Dahlan mengikuti nama pimpinan

Muhammadiyah. Oleh sebab itu orang Galuh tetap menyebutnya Selagangga, sebab di situ ada peninggalan Kangjeng prabu yang dirasa telah besar jasanya dalam sejarah Galuh Ciamis. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Ahmad Dahlan, mereka meminta bupati untuk mengembalikan nama Jalan Selagangga untuk mengenang Kanjeng prabu yang memiliki keraton di tempat itu, memimpin Galuh dari sana, bahkan dimakamkannya juga di pemakaman Sirnayasa (Jambansari) Selagangga. Mereka merasa tak melihat adanya alasan yang bisa diterima bila Jalan Selagangga harus berganti nama.

Peninggalah Kerajaan Galuh

Keberadaan Kerajaan Galuh diketahui melalui sumber-sumber sejarah baik yang berupa prasasti, candi maupun artefak lainnya.

Candi Cangkuang, salah satu warisan dari Kerajaan Galuh

Prasasti dari masa Kerajaan Galuh

Prasasti Mandiwunga

Prasasti Cikajang

Prasasti Rumatak

Prasasti Galuh

Kepurbakalaan peninggalan Kerajaan Galuh

No. Kawasan Situs Artefak Koordinat

1. Sumedang

Gunung Tampomas (Cimalaka)

Teras berundak

108°05’BT, 06°47’LS, ±1020m dpl

Batu Kukus

Pabeasan

Astanagede (Darmaraja ) Teras Berundak

108°05’BT, 06°53’LS, ±230m dpl

Embah Jalul

Lembu Agung

Dalem Demang

Astana Cipeueut (Darmaraja)

Teras berundak

108°05’BT, 06°53’LS, ±230m dpl

2. Garut Cangkuan (Pulo-Leles)

Struktur bangunan

107°55’BT, 07°06’LS, ±704m dpl

arca Nandi ,

Siwa ,

Siwaguru

Neolitik

Megalitik

Ranca Gabus (Cibeureum )

Teras Berundak (di 8 bukit)

107°57’BT, 07°07’LS, ±702m dpl

Pasir Lulumpang (13 teras)

Pasir Kiarapayung (10 teras)

Pasir Tengah (15 teras)

Pasir Kolecer (13 teras)

Pasir Astaria (19 teras)

Pasir Luhur (15 teras)

Pasir Gintung (12 teras)

Pasir Tunjung (19 teras)

3. Tasik Malaya Indihiyang struktur bangunan 108°12’BT, 07°11’LS, ±420m dpl

Sisa fondasi

Lingga-yoni

Lumpang ,

umpak

Batu

4. Ciamis Batu Kalde (Pangandaran )

struktur bangunan 108°39’BT, 07°34’LS, ±03m dpl

Kanduruan (Batulawang-

Banjar)

serakan batu

108°32’ BT, 07°24’LS, ±43m dpl

Menhir

Stone-Cist

Kalipucang struktur batu

108°45’BT, 07°39’LS, ±50m dpl

Arca yoni, Nandi

Lingga

Ronggeng struktur bangunan

108°29’BT, 07°24’LS, ±98m dpl

Lingga , Yoni,

Nandi

Karang Kamulyan (Cisaga)

Batu Pangcalikan

108°29’BT, 07°21’LS, ±40m dpl

Sanghiyang Bedil

Panyambungan Hayam

Lamban Peribadatan

Cikahuripan

Panyandaan

Sri Bagawat Pohaci

Pamangkonan

Makam Adipati Panaekan

Gunung Padang (Cikoneng )

Teras berundak (5 teras)

108°16’BT, 07°17’LS, ±430m dpl

Mata air

Kawali (Kawali)

Teras berundak (5 teras)

108°23’BT, 07°11’LS, ±415m dpl

Prasasti batu (6 prasasti)

Batu Tapak

Batu Pangeunteungan

Batu Panyandaan

Batu Panyandungan

Sejumlah besar menhir

Kerakal andesit

5. Kuningan (Ciniru ) Sukasari Lapik persegi

108°30' BT, 07° 03' LS, ± 310 m dpl

Yoni, Lumpang

Susukan (Ciawigebang ) Lapik persegi

108°34'BT, 06° 57' LS, ± 303 m dpl

Yoni, meja batu (?)

Ciarca (Darma) serakan batu

108° 25' BT, 06° 58' LS, ± 945 m dpl

Lapik, Yoni

menhir

Hululingga Teras berundak

108° 25' BT, 06° 58' LS, ± 945 m dpl

Bersyukurlah Jika Semua Orang Bisa Tertawa Dan Senang Karena Kebodohanmu, Daripada Menjadi Orang Pintar Tetapi Selalu Menyusahkan Semua Orang...

Anda mungkin menyukai postingan ini

Posting Komentar

Bagaimana dengan Artikel ini?
Silahkan Anda Bebas Berpendapat!
((
___; )
(6