Kata ‘panawangan’ bermakna sama dengan kata ‘panarawangan’. Kata asalnya adalah ‘tarawang’ yang memiliki arti membuat lubang pada anyaman atau bordiran. Sementara itu, kata ‘panarawangan’ berarti ilmu pétangan atau ‘sangkala bolong’. Demikian menurut menurut Kamus Basa Sunda R.A. Danadibrata.
Mengingat bahwa penyusun Kamus Basa Sunda, R.A. Danadibrata, pernah menjabat sebagai seorang camat di pemerintahan Kabupaten Ciamis pada sekitar tahun 1940-an dan kata tersebut merupakan nama sebuah tempat di wilayah utara Ciamis, maka pemaknaan kata ‘panawangan’ pastinya sudah melalui penelitian yang seksama.
Penerawangan (panarawangan) adalah kemampuan istimewa dalam melihat sesuatu dari jarak jauh atau memperhitungkan angka-angka untuk menetapkan hari baik/buruk di masa depan. Terlepas dari percaya atau tidaknya terhadap hal tersebut, yang lebih dekat kepada dunia supranatural, penerawangan telah lama dikenal di tengah-tengah kehidupan pelbagai suku bangsa di Indonesia. Contoh penggunaannya semisal dalam menentukan ‘hari baik’ untuk pelaksanaan pernikahan atau ‘memeriksa kecocokan’ kedua mempelai.
Penamaan suatu tempat di Tatar Galuh oleh para leluhur lazimnya didasarkan pada suatu hal yang istimewa atau luar biasa, baik mengabadikan kejadian, ciri tempat atau hal lainnya. Demikian pula kiranya untuk nama ‘Panawangan’. Namun, apakah di tempat tersebut dulu pernah terjadi ‘panarawangan’ atas sebuah kejadian besar? Atau pernah hidup seorang tokoh yang biasa didatangi orang-orang untuk ditanyai ‘hitung-hitungannya’? Atau ada hal lain terkait penerawangan yang pernah terjadi di sini?
Sayangnya, belum ada data sejarah atau catatan lain yang dapat diungkapkan hingga tulisan ini dibuat. Boleh jadi, ada pula kisah asal-usul Panawangan yang sama sekali berbeda dengan dugaan-dugaan berdasar makna kata dalam kamus basa Sunda di atas. Hal tersebut memerlukan penelusuran lebih lanjut.
Panawangan sendiri dikenal sebagai Kota Kupat, karena menghasilkan produk khas kuliner ‘kupat’ atau ketupat. Kupat Panawangan tak hanya rasanya enak dan legit, tetapi juga tahan hingga dua atau tiga hari. Hidangan khas nan nikmat yang merupakan olahan berbahan dasar kupat dapat ditemui pada warung yang menyajikannya di seputar Panawangan.
Menurut sebuah catatan blog Cinta Deras, kupat bagi warga Panawangan, sebagaimana dituturkan para sesepuh, memiliki falsafah kehidupan atau nilai kearifan lokal yang sepatutnya direnungkan. Kupat yang berwujud segi lima menyimbolkan bahwa hidup harus ‘masagi’ atau lengkap oleh lima hal, yakni: kemauan, keterampilan, keuletan, kasih sayang dan harta benda. Lima hal tersebut harus dijaga dan diperkuat oleh ‘silih asah, silih asih dan silih asuh’ dengan sesama, disimbolkan oleh anyaman daun kelapa yang membungkus ketupat.
Konon, keterampilan membuat kupat merupakan warisan leluhur yang berasal-muasal dari jaman Sunan Kalijaga pada masa awal penyebaran Islam di Tanah Jawa. Jika di tempat lain terdapat acara ‘kupatan’ atau ‘lebaran ketupat’ sebagai peninggalan tradisi islami dari masa lampau, rupanya di Panawangan pembuatan kupat yang istimewa inilah yang terus berlangsung hingga kini.
Kedekatan Panawangan dengan sejarah penyebaran agama Islam di Tatar Galuh Ciamis ditunjukkan pula oleh terdapatnya situs makam Syekh Malik Kubro. Pada masa Sunan Gunung Jati giat menyebarkan Islam, Panawangan bahkan sempat berfungsi sebagai lokasi pengumpulan kekuatan pasukan Kasunanan Cirebon sebelum bergerak menguasai Kerajaan Galuh. Di tempat sejuk yang rata-rata suhunya 25⁰C inilah pasukan Cirebon menyiapkan serangan penentuan.
Sudahkah Anda berkunjung ke Panawangan? Selain menikmati sejuknya udara dan indahnya panorama alam pedesaan, Anda dapat mampir untuk mencicipi sajian kupatnya yang khas. Kunjungan ziarah dapat pula Anda lakukan sembari mengambil hikmah perjuangan dari jaman Kanjeng Sunan.